Pada malam yang begitu indah dengan bulan purnama yang sedikit redup tertutup awan. Aku berkunjung ke salah satu tokoh agama karismatik yang paling disegani dan dihormati di desaku. Beliau bernama Ustad Ali Masyudin.Â
Tetapi aku dan sahabatku lebih sering memanggilnya Pak Ali. Pak ali juga pernah bilang bahwa ia lebih suka dipanggil Bapak ketimbang dipanggil Ustad. Begitu mulianya akhlak beliau dengan segala keilmuan yang begitu luasnya.Â
Aku sengaja berkunjung kerumah Pak ali karena memang sebagai santri, semenjak pulang dari Kabupaten Tulungagung hingga datangnya hari raya Idul Fitri aku belum sempat sowan kepada beliau. Memang bagiku sudah menjadi tradisi dan keharusan ketika berangkat kuliah, pulang kuliah, kemanapun itu dan apapun itu harus sering sowan kepada Pak ali .Â
Jika memang tidak ada urusan yang diperlukan sekalipun, aku tetap rutin sowan kepada beliau. Memang semenjak lulus dari bangku SMA, aku dan sahabatku berhenti mengaji dan jarang bertemu dengan beliau. Pada malam itu, aku diberikan sebuah Wejangan yang begitu menarik dan serat akan nilai nilai kehidupan.
Dizaman sekarang banyak sekali manusia yang gengsian dan memandang sepele hal hal kecil dan sederhana. Padahal keberhasilan seseorang banyak terlahir dari hal-hal tersebut. Pak ali mengisahkan seorang teman lamanya yang kini sudah hidup mapan dan serba berkecukupan.
 Saya punya seorang teman, ia adalah pedagang sate keliling yang keadaan kelurga dan hidupnya sangat sederhana. Setiap hari ia memikul dagannya dan berkeliling menjajakan sate buatanya diwilayah tempat ia tinggal. Setiap kali sate jualanya habis, ia hanya mendapatkan laba bersih sebesar Rp. 50.000 setiap harinya.Â
Kalau melihat orang orang zaman sekarang, uang lima puluh ribu itu pasti sudah dibelanjakan semua untuk beli ini, beli itu. Hal hal sekiranya belum bermanfaat untuk dibeli.Â
Sehingga uang hasil jerih payah hari ini, habis hari ini juga. Namun penjual sate ini ia tidak berpikir demikian. Ketika ia mendapatkan uang lima puluh ribu yang dibelanjakan hanya dua puluh ribu dari lima puluh ribu.Â
Kemudian sisanya ditabung sebagai celengan apabila nanti ada keperluan mendadak atau tiba tiba ia sakit sudah tidak lagi meminjam uang kepada orang lain untuk berobat karena ia sudah mempunyai tabungan.Â
Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, ia tekun dan ulet dengan pekerjaanya.Â
Hingga setelah 6 tahun berlalu iapun bisa membeli tanah dan membangun rumah yang lebih layak dan indah untuk keluarganya. Dan kini ia sudah mempunyai enam cabang yang tersebar di sekitar wilayah tempatnya tinggal.