Oleh Suyatna Pamungkas
Menentukan research question dalam penelitian ilmiah merupakan tahapan yang sangat penting, saking pentingya seringkali peneliti dibuat “keriting” memikirkan satu pertanyaan untuk penelitiannya ini. Baik saat akan menulis paper, makalah, skripsi, tesis, atau bahkan disertasi, selalu yang pertama harus digodok dengan matang adalah research question. Secara harfiah research qustion berarti "pertanyaan penelitan", menyatakan hal apa yang akan dipermasalahkan dalam penelitan. Research question akan sangat menentukan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian, juga terkait dengan manfaat penelitian. Lagi, research question inilah yang akan digunakan sebagai dasar dalam melakukan penetian, sesuatu yang sangat fundamental.
Lalu apa kaitan research question dengan penulisan fiksi?
Jika dalam penelitian ilmiah dikenal istilah research question, dalam penulisan fiksi juga dikenal istilah writing question (sebutan ini adalah teori dari Suyatna Pamungkas dalam dunia kepenulisan fiksi, dengan mengadopsi yang ada pada penelitian ilmiah). Secara harfiah, writing question bisa diartikan “pertanyaan kepenulisan”. Maksudnya adalah, sebelum menulis fiksi –apalagi fiksi panjang –sebelumnya kita bertanya kepada diri sendiri: apa yang mau ditulis? Seperti halnya sinopsis, writing question ini juga dapat digunakan sebagai alat untuk berpijak, menentukan sesuatu yang akan ditulis. Benar sekali, sekali lagi saya tegaskan bahwa fiksi juga mengenal writing question seperti halnya penelitian ilmiah yang mengenal research question.
Research question ini akan tampak saat tahap menulis sinopsis, jauh sebelum menulis sinopsis. Seperti yang saya bilang pada pembahasan mengenai sinopsis cerita, beberapa kesempatan yang lalu, bahwa produser biasanya akan membaca sekilas sebuah sinopsis lantas memutuskan cerita tersebut menarik dan layak untuk ditayangkan atau tidak. Ya benar, sangat sekilas dan cepat. Tentu Kawan masih ingat soal premis cerita yang pernah kita bahas pada pelajaran terdahulu, bahwa setelah menentukan tema kita akan mengembangkan tema tersebut menjadi premis cerita berupa kalimat utuh. Inilah yang sesungguhnya dicari oleh produser (dalam industri film) dan redaktur (dalam industri penerbitan).
Ya benar, para produser dan redaktur penerbitan biasanya menggunakan metode ini, di tengah kesibukan yang super 24 jam, produser dan redaktur hanya mempunyai waktu sekitar lima menit untuk membaca tawaran skenario/buku yang diajukan penulis. Dengan waktu yang super singkat tersebut, produser/redaktur akan mencari "masalah" yang sedang ditawarkan. Seseorang sahabat yang sudah 20 tahun bersahabat dengan saya, menyuruh saya menulis novel tentang perjalanan hidup kami. Apa yang menarik? Di mana-mana kisah persahabatan berlangsung "sama": bertengkar, berselisih, bersahabat, nakal, bolos sekolah, bohongin orang tua, berpetualang, dsb. Lalu apa yang membedakan dengan kisah-kisah persahabatan yang lain? Kisah persahabatan yang dialami bukan oleh saya dan oleh teman saya tersebut? Sekali lagi, apa yang menarik dari sana?
Ada lagi cerita berikutnya, seorang gadis yang, yah, sebutlah berpacaran dengan saya selama delapan tahun, menyuruh saya menulis cerita dengan judul "sewindu" saat kami akan memperingati hari ulang tahun jadian kami. Apa yang harus dipersoalkan, tanya saya dalam hati. Iya benar, selama pacaran kami melalui proses yang sangat panjang, yang jika ditulis dalam sebuah buku maka jumlah halamannya bisa beribu-ribu. Namun, di mana yang menarik? Apa yang ingin saya permasalahkan? Apa yang ingin ditonjolkan? Dan untuk apa, memberi manfaat apa jika cerita tersebut ditulis?
Konsep ini menjadi penting karena dalam kepenulisan juga akan dituntut “pertanggung jawaban” penulis. Tentu, sebelum menulis penulis sudah terpikirkan, untuk tujuan apa dirinya menulis? Ada penulis yang menulis dengan tujuan menghasilkan uang, silakan saja. Ada penulis yang menulis dengan tujuan untuk eksistensi diri dalam literasi, juga boleh-boleh saja. Atau barangkali penulis Pramoedya sebelum menulis telah menentukan tujuan penulisan, untuk mengangkat citra pribumi orang-orang Indonesia, misalnya. Raditya Dika menulis Kambing Jantan, mungkin bermula dari iseng belaka, namun dari hatinya bisa kita tebak bahwa dirinya ingin berbagi sesuatu yang sangat lucu, gokil, dan seterusnya. Ada juga penulis yang menulis dengan tujuan personal lainnya. Silakan, itu tujuan dan hak masing-masing penulis.
Nah, kaitan dengan tujuan menulis, pentingnya writing question adalah menentukan dan membatasi masalah yang ingin disampaikan, mengesampingkan pembahasan yang dirasa tidak penting, juga memberi manfaat yang lebih bagi para pembacanya. Dengan menuliskan writing question, penulis dapat melihat:
1. konsep awal cerita
2. kekuatan cerita
3. gambaran cerita
4. selling point tulisan
Keempat-empat point di atas jelas sangat penting, meskipun ini sangat teoritis dan tidak semua penulis menempuh jalan ini, namun setidaknya dengan melihat kembali apa yang terkadung dan meninjau manfaat adanya wrting question ini akan menjadi satu tips tersendiri bagi Anda yang baru mau terjun ke dunia kepenulisan atau para penulis yang sulit produktif karena terkendala sesuatu yang sangat teknis. Nah, inilah salah satu strategi menangani masalah atau kendala teknis tersebut. Dengan mencari dan kemudian menuliskan writing question terlebih dahulu –yang kemudian nanti akan dikembangkan sebagai sinopsis cerita –akan terlihat keuntungan berikut:
(1) dapat melihat konsep awal cerita dengan jarak yang sangat dekat: tentu saja ini memudahkan kita untuk melacak hal-hal apa saja yang harus dikuasai, buku-buku bacaan, tulisan yang segenre, atau riset yang diperlukan untuk memperkuat tulisan kita.
(2) dapat melihat kekuatan sebuah cerita. Dengan adanya writing question kita tidak perlu takut cerita kita tidak bisa berkembang dengan baik di tengah penulisan. Kita telah dapat membaca peta, ke mana dan akan seperti apa tokoh kita nantinya. Nah, dengan mengetahui writing question ini –mohon dicatat –kita akan memiliki ancang-ancang yang jelas untuk menentukan klimaks/turning point dari sebuah cerita. Jika writing question-nya adalah mengapa X selalu Y (contoh: mengapa AZAM selalu SABAR), maka klimaks yang harus kita ekpose dalam tulisan adalah X selalu Y karena Z (missal: AZAM selalu SABAR karena DIA PERCAYA KEKUATAN BERTASBIH).
Nah, di bagian inilah yang harus dimaksimalkan. Bahwa dengan mengetahui writing question berarti tahu bagian mana yang akan dioptimalkan dalam kepenulisa, demi mengaduk-aduk perasaan pembaca. Sedih. Tertawa. Haru. Riang gembira. Dan sebagainya.
Saya contohkan saja Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburahman El Shirazy. Meski saya tidak tahu apakah penulis menuliskan writing question terlebih dahulu, namun jika saya memposisikan diri sebagai kreator, saya akan memperoleh kekuatan tulisan pada sisi “perjuangan Azam untuk bersabar ketika cintanya bertepuk sebelah tangan”.
(3) Gambaran cerita terlihat jelas dari writing question. Dengan demikian kita tidak akan takut cerita kita mengalami overlapping, dengan membaca satu kali saja masalah kepenulisan yang akan disuguhkan kita telah dapat menghindari pelebaran cerita yang cenderung tak terkontrol. Saat menulis halaman pertama tidak akan terasa, namun setelah puluhan halaman ditulis, tokoh dan setting seperti bergerak sendiri, menentang tuannya, menentang si kreator. Nah dengan melihat writing question dan dibantu peta kepenulisan yakni sinopsis, dengan sangat mudah akan terlihat batas-batas masalah yang harus dan tidak boleh ditulis. Cerita kita pun akhirnya tidak melebar ke mana-mana dan fokus pada satu permasalahan utama.
(4) Mengetahui selling point tulisan. Dalam pengiriman naskah novel ke penerbit, redaksi akan selalu bertanya selling point dari tulisan yang sedang ditawarkan. Nah kita diuntungkan karena telah menulis writing question sebelum menulis novel. Saat ditanya redaktur soal selling point dan pangsa pasar, well kita tak akan kesulitan menjawab sebab dari membaca writing question yang sudah kita buat semuanya akan sangat terlihat di mana pangsa pasar dan selling point tulisan kita. Apakah tulisan religi, tulisan humor, tulisan perenungan, inspiratif, termasuk lama atau tulisan tema baru, semua akan tampak jelas di sini.
SEMPITKAN!!!
Sering kita terjebak bahwa novel merupakan perjalan hidup dari lahir sampai si tokoh mati, sebutlah begitu. Ambillah Laskar Pelangi, Andrea Hirata menyempitkan perjalanan hidupnya dalam sebuah writing question atau masalah, yakni "perjuangan bersekolah dengan segala keterbatasan". Ini sangat berpengaruh terhadap simpulan, atau dalam fiksi yang dikenal dengan istilah amanat. tentu saja, amanat ini sangat penting, mengingat unsur ini juga masuk ke dalam salah satu unsur intrinsik cerita rekaan. Ibarat menentukan titik awal, menentukan masalah merupakan sarana untuk menuju titik akhir, titik Z, sebutlah demikian. Bahwa novel bukan merupakan perjalanan hidup seseorang tokoh fiktif, yang di dalamnya hanya ada berisi biografi catatan perjalanan yang tidak difokuskan pada satu permasalahan; novel merupakan satu premis cerita yang dikembangkan menjadi kompleksitas penyampaian.
Di atas telah saya contohkan dua kasus kepenulisan, yang satu kisah seorang sahabat yang telah 20 tahun bersahabat dengan saya, yang kedua kisah asmara satu windu. Pertanyaan menggelitiknya: apa yang menarik dari kisah sepanjang itu? Nah melalui writing question ini kita bisa menyempitkan kompleksitas yang ada dalam durasi waktu yang lama itu. Misalkan saja, dari tema persahabatan itu saya mengambil writing question begini: kenapa aku dan sahabatku selalu bertengkar soal cewek tomboy? Bagi sahabatku tomboy itu cantik, bagiku cantik itu feminim, pakai rok, tidak suka mengenakan jeans, rambut panjang, dsb. Ini jika dituliskan menjadi premis cerita akan menjadi begini: kisah persahabatan dua orang laki-laki yang sedang berlomba mengejar gadis tomboy (anggaplah pada akhirnya si “aku” ini tertarik tantangan sahabat untuk berebut pacar dengannya, dan gadis tersebut adalah seorang yang tomboy).
Untuk kasus cinta yang satu windu, silakan untuk latihan Kawan-kawan semuanya saja. silakan coba tentukan writing question apa yang menarik untuk disuguhkan dan dikembangkan menjadi cerita?
Jika boleh saya menyarankan, laluilah tahapan ini. Bagi saya, menulis fiksi memang harus –sekali lagi saya tegaskan, ini bagi saya –melalui tahapan ini. Namun demikian, tidak semua penulis melakukan tahapan ini. Pada tahapan ini. Menulisan cerita dengan diawali tahap ini.
> perenungan
> pengendapan
> tulis dalam kalimat pendek
> jadikan satu premis cerita
Writing question kemudian dilanjutkan dengan:
> kaitkan apa yang akan ditulis
> tulis sinopsis
> menjaga konsistensi
> jadilah novel J
Demikian pelajaran menulis yang dapat saya sampaikan, akhirnya dapat saya ambil benang merah dari pelajaran kita pada kesempatan ini, bahwa pada dasarnya semua fenomena yang terjadi di sekitar kita (di dalam diri maupun di luar diri) dapat ditulis menjadi sebuah cerita fiksi yang menarik. Hanya saja, kita perlu membatasi masalah yang akan kita angkat dalam cerita fiksi tersebut. Menemukan, merumuskan, untuk kemudian menuliskan writing question adalah salah satu langkah kepenulisan yang menurut saya patut dicoba diaplikasikan dalam “calon novel” kita.
Salam karya.
WITH LOVE
Suyatna Pamungkas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H