Mohon tunggu...
Suyatna Pamungkas
Suyatna Pamungkas Mohon Tunggu... -

Penulis cerpen, novel, skenario, mahasiswa program Magister Linguistik, serta CEO President di Indonesian Writers University

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Pelajaran “Menulis Pembuka Cerita” (Novel dan Cerpen)

24 November 2011   10:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:15 3431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio



Oleh Suyatna Pamungkas

Selain judul, unsur lain yang sangat berpengaruh terhadap kesan di awal pembaca berkenalan dengan sebuah karya sastra, pada khususnya cerita rekaan, adalah pembuka cerita. Sengaja saya tidak menggunakan istilah paragraf pembuka di sini, karena kesan penggunaan istilah ini sangat sempit, sebatas pengertian kalimat-kalimat yang dijejerkan. Lebih dari itu, yang saya maksudkan di sini bukan semata paragraf awal namun penekanan lebih pada substansi atau isi dari pembuka cerita.

Anggaplah pembaca telah berkenalan dengan membaca judul yang kita tawarkan, dan ia merasa jatuh hati akan tulisan kita. Setelah itu, tugas yang musti kita lakukan selaku kreator adalah memancing perhatian pembaca agar terus melirik tulisan yang kita buat, hingga akhirnya ikut menyelam bersama tokoh-tokoh fiktif yang kita ciptakan. Jika judul dapat kita andaikan sebagai kesan pertama secara fisik, maka pembuka cerita adalah pengenalan awal sebuah karakter. Benar sekali, dari mata turun ke hati, kata pepatah lamanya. Dari kesan fisik, seseorang akan dinilai dari yang lebih sulit, dari cara berbicara, cara menatap, cara mengucap salam, cara mengedipkan mata, dst. Sangat mungkin seorang pria merasa tertarik ketika melihat wanita cantik, namun setelah ngobrol selama lima menit tiba-tiba si pria merasa nggak banget deh! Barangkali si wanita ini gokil, barangkali si wanita ini giginya ompong satu. Berbagai kemungkinan dapat disimpulkan sendiri oleh si pria ketika ia mulai melakukan observasi tingkat awal, ngobrol face to face dengan si wanita. Seperti inilah nuansa ketika pembaca berkenalan dengan karya kita, dari pembacaan judul pembaca akan mulai melakukan observasi ringan dengan jalan membaca paragraf-paragraf pengantar (novel) atau kalimat-kalimat awal (cerpen).

Jika pandangan pertama sudah OK, sekarang tinggal pengenalan innerbeauty. Bukalah pengenalan innerbeauty dengan sungguh-sungguh, tunjukkan bahwa naskah kita bukan hanya cantik fisik tetapi juga memiliki kepribadian yang baik. Sehingga orang lain pun akan menjunjung, menghargai, dan mengapresiasi karya kita.

Setelah mengenalkan cerita dengan melalui judul yang memikat, kita juga diwajibkan mengantarkan pembaca  pada isi cerita. Karena bersifat mengantarkan, maka kita juga harus membuat pembaca tertarik terhadap cerita yang kita tulis. Jangan sampai pembaca mengalami kejengkelan, kejenuhan, kemalasan, atau keengganan di kalimat-kalimat awal tulisan kita. Sebaliknya, buatlah pembaca merasa penasaran dengan kelanjutan tulisan kita, merasa tidak ingin beranjak dari halaman demi halaman buku kita.

Lalu bagaimana membuat pembuka cerita agar lebih menarik dan mampu membuat pembaca dirundung rasa penasaran? Ada berbagai cara agar misi itu tercapai, terpenting adalah kita selaku penulis juga harus berani, mau, sudi, menyempatkan diri untuk menempatkan diri sebagai pembaca. Bertanyalah dengan penuh kerendahan hati, masih dengan memposisikan diri sebagai pembaca dan terlepas sama sekali dari proses kreatif pribadi selaku kreator cerita. Tanyakan pada diri sendiri, “sekarang posisiku sebagai pembaca, bukan kreator lagi. Cerita ini menarik nggak ya? Membosankankah? Menyebalkankah? Bikin ngantukkah?”

Tidak mudah menilai karya sendiri. Karena penilaian yang akan terjadi cenderung bias, dan ada insting membela diri dalam setiap proses penilaian terhadap karya sendiri. Oke, tidak mengapa. Jika memang tak mampu menilai, jangan paksakan waktu Anda. Namun jika Anda merasa benar-benar menangkap indikator cerita yang dibangun begitu membosankan, maka segeralah revisi pembuka cerita Anda. Jangan takut kehilangan jumlah halaman, sebab masih ada milyaran kalimat yang dapat kita ciptakan dari paduan kata dengan kata.

Andrea Hirata dalam Sang Pemimpi membuat saya takjub karena membuka adegan novelnya dengan tiga anak (Ikal, Arai, dan Jimbron) yang terkurung di sebuah gudang. Atau pada Laskar Pelangi, Andrea menggambarkan bagaimana suasana miskinnya sebuah SD di pelosok terpencil. Dalam novel Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer memulai membuka cerita dengan mengenakan tokoh dengan kalimat begini: Namaku Minke. Simple, tapi menimbulkan asosiasi yang menarik di hati pembaca. Pengalaman saya pribadi membaca pembuka cerita novel tersebut, barangkali tokoh Minke ini mirip seekor monyet. Ternyata benar, ternyata da korelasi antara nama Minke dengan monyet, dalam kalimat selanjutnya Pramoedya menjelskan kenapa tokoh si aku dinamai monyet, yakni nama dari seorang gurunya karena dia satu-satunya pribumi di sekolah.

Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk lebih gempar lagi. Pembaca diarahkan untuk melihat fenomena lokalitas yang sangat unik. Tiga anak kecil, yakni Rasus,Warta dan Darsun, sedang bergurau di sebuah kebun singkong yang cukup tandus. Salah satu dari anak itu, Rasus, mengusulkan untuk mengambil singkong dengan cara mengencinginya. Karena memang musimnya musim kemarau sehingga tanah di sana sangat keras, mereka bertiga pun mengencingi tanah di sekitar pohon singkong. Setelah itu mereka menarik kembali batang singkong secara bersama-sama, dan mereka pun berhasil. Lalu singkong tersebut dimakan, tanpa rasa jijik. Tidak aneh bagi Jawa, barangkali aneh bagi Papua atau Ambon, atau bahkan orang luar negeri.

Novel Syahadat Cinta karya Tauffiqurrahman Al Azizy dibuka dengan cerita seorang pemuda metropolis yang “nyasar” ke pesantren hanya gara-gara ibunya sakit setelah sengketa ringan dengan si pemuda lantaran anggrek di rumah mereka layu.

Cerpen Bom karya Putu Wijaya: dibuka dengan kalimat sangat mencengangkan, walau sederhana dan simple. Oki terbangun di pagi hari dan menemukan sebuah bom di tempat tidurnya.

Karena kedalaman isi cerpen dan novel itu berbeda, maka dalam membuat pembuka cerita juga agak berbeda. Dalam cerpen kita cukup menunjukkan trik ini dalam sebuah kalimat, beberapa contoh misalnya

-“Hah, kamu ditembak sama Kakek-kakek?”

-Pulang sekolah aku ketiban pesawat.

-Buktiin aja, gue pasti bisa pacaran sama Happy Salma!

-Jojo jomblo, begitulah teman-teman menyebutnya. Ada juga yang menyebutnya Triple J. Terserah saja, seenaknya. Sepertinya Jojo juga enjoy menyandang gelar jomblo yang diberikan teman-temannya. Cowok yang… yah, boleh dibilang rada cakep ini, memang sudah berkomitmen untuk menjomblo selama masih SMA.

-Kenken masih melongo. Mata dan bibirnya mengisyaratkan belum bisa percaya kenyataan bahwa Yuke ditembak tujuh cowok sekaligus dalam satu minggu ini.

-“Sinetron! Sungguh ini mirip sinetron! Gue nggak pernah bayangin ini terjadi di hidup gue, sungguh sulit sekali dipercaya!” protesnya kepada angin yang berembus masuk ke kamar.

-Di kelasku ada dua kutu. Kutu yang satu benar-benar kutu: berkacamata tebal, berwajah culun, kalau jalan menunduk, dan soulmate-nya tentu saja buku-buku tebal, serta berbaju amit-amit. Kutu yang satu ini bernama Yurike. Kutu yang satunya lagi: tampilannya tidak seperti kutu pada umumnya, tidak berkacamata tebal juga, tidak culun, tidak menunduk, tapi biarpun begitu di tasnya selalu ada puluhan judul buku yang selalu dibawa ke mana-mana.

-“Serangan mendadak adalah serangan yang paling indah.” Pendapat seorang Filsuf di kelasnya, Binar, masih terngiang di kepalanya. Emang sih, masih menurut Binar, pedekete itu penting buat menjajaki gambaran kecil tentang seseorang.

-Dst

Sementara itu jika membuat pembuka cerita novel, kita bisa sedikit berbeda kalimatnya namun tetap menyuguhkan sesuatu yang menarik dalam kesatuan paragraf yang kita bangun. Seperti Ahmad Tohari, penulis ini menggali kekayaan lokalitas yang bagi masyarakat lain justru menjadi suatu “keanehan” tersendiri. Seperti Andrea Hirata yang mampu melukiskan suasana miris sebuah SD terpencil. Juga dalam novel saya, saya mengikuti pola Ahmad Tohari, yakni kekayaan lokalitas. Dalam novel saya berjudul Anak Negeri saya menggambarkan anak-anak kampung yang gemar memakan enthung jati (Ungker atau enthung ini merupakan kepompong dari jenis ulat jati, atau yang memiliki nama Latin Hyblaea puera. Ciri-ciri fisik enthung jati (kepompong) ini adalah warna coklat sampai coklat tua kehitam-hitaman, panjang rata-rata 1,4 –1,9 cm, berat rata-rata 0,7-1,3 mg. Ulat jati menyerang pada awal musim penghujan, menyerang pohon-pohon jati yang baru saja memunculkan daun-daun hijau setelah menggugurkan daun ketika musim kemarau. Ulat dan kupunya dapat dijumpai dalam jumlah sangat besar pada 4 – 6 minggu pertama di musim hujan), dan seterusnya.

Silakan gali lagi kekayaan imajinasi yang sungguh tidak ada batasnya, libatkan lokalitas seperti yang dilakukan oleh Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk atau seperti tulisan saya dalam Anak Negeri, silakan temukan cara untuk menghidupkan pembuka cerita. Baik cerpen maupun novel, ciptakanlah menjadi sesuatu yang layak dan menginspirasi pembaca. Yap, akhirnya setelah pembuka cerita ini jadi, kita tinggal meneruskan bercerita dengan mengembangkan konflik yang sudah dibawa oleh tokoh-tokoh fiktif kita.

Semangat berkarya,

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun