Mohon tunggu...
Suyatna Pamungkas
Suyatna Pamungkas Mohon Tunggu... -

Penulis cerpen, novel, skenario, mahasiswa program Magister Linguistik, serta CEO President di Indonesian Writers University

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Memanfaatkan Model Paradigmatik Saussure dalam Penyusunan Alur Cerita Fiksi

30 November 2011   09:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:00 1052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Suyatna Pamungkas

Linguist Struktural bernama Ferdinand de Saussure memperkenalkan model sintagmatik dan paradigmatik dalam menganalisis bahasa. Sintagmatik (in praesentia)adalah hubungan di antara mata rantai dalam suatu rangkaian ujaran, sifat hubungannya horisontal. Paradigmatik (in absentia) merupakan hubungan unsur kebahasaan yang muncul tidak dalam ujaran, sifatnya vertikal. Untuk kelas kepenulisan ini, lupakan dulu istilah yang pertama, yakni sintagmatik. Sekarang mari kita bahas model paradigmatiknya saja. Model paradigmatik dapat disebut juga model asosiatif, model ini dapat dimanfaatkan dalam kepenulisan cerita rekaan khususnya terkait dengan penyusunan alur cerita. Sebelumnya mari kita pahami dulu konsep model paradigmatik ini.

Ambillah kalimat saya makan buah. Nah, dalam model paradigmatik ini, kita bisa mengasosiasikan kata selain kata saya, makan, dan buah untuk diisikan ke dalam rangkaian kalimat ini dan sifatnya dapat saling menggantikan. Coba bandingkan, saya makan buah kita ganti menjadi Adi/Anto/Syifa/Ipud/Marisya/Yetik makan buah. Nah, ternyata kata saya dapat digantikan dengan unsur lain yang memiliki bentuk dan jenis kata yang sama, dalam hal ini sama-sama noun atau kata benda. Lalu, coba kita ganti kata apel, maka akan didapati kalimat Saya makan nasi/jeruk/jambu/apel/mangga/ayam, dst. Lagi-lagi pengganti yang dapat dimasukkan adalah yang berjenis kata yang sama. Demikian juga kata makan dalam kalimat saya makan buah, dapat diganti dengan kata yang berjenis kata kerja atau verba, misalnya saya membeli/mencuci/mencuri/memetik/menjual buah.

Nah, sekarang sudah paham konsep paradigmatik itu sendiri bukan?

Baguslah kalau memang sudah menguasai konsep model paradigmatik ala Saussure. Sekarang, mari kita terapkan model tersebut dalam cerita rekaan. Seperti yang sudah kita bahas sebelumnya, bahwa cerita rekaan terbangun atas unsur intrinsik yang meliputi tema, alur, setting, tokoh, point of view, amanat. Menyusun alur adalah salah satu pekerjaan terpenting dalam penyusunan cerita, menyusun alur adalah pekerjaan yang susah-susah gampang. Tidak dapat diingkari bahwa alur juga menentukan baik dan tidaknya sebuah cerita rekaan. Alur yang flat-flat saja, tentu tidak menimbulkan kesan mencekam hati  pembaca. Sebaliknya, alur yang pada titik tertentu terdapat klimaks atau turning point-nya tentu akan lebih berkesan di hati pembaca. Namun lupakan pembahasan soal klimaks dan turning point karena saya ingin fokus membahasa model paradigmatiknya saja.

Alur/ plot merupakan urutan peristiwa dalam cerita atau rangkaian kejadian demi kejadian yang tersusun menjadi satu kesatuan cerita yang utuh. Jadi, jika kita menelanjangi sebuah novel misalnya, kita akan dapat memecah susunan alur-alur itu menjadi sebuah satuan unsur yang kecil. Apabila kita notasikan, alur adalah A-Z sebuah cerita. Benar sekali, A sampai Z cerita merupakan unsur cerita yang dapat kita potong-potong menjadi bagian yang lebih kecil, lebih sederhana. Satu yang harus kita pegang sebagai pijakan adalah titik A dan juga titik Z. Titik A sebagai pembuka cerita, sementara Z sebagai ending cerita. Nah, di antara titik A-Z ini terdapat B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, L, M, N, O, P, Q, R, S, T, U, V, , X, dan Y. Titik-titik di tengah inilah yang dapat kita substitusi dengan unsur asosiatif lain sebagaimana kita mengenal model paradigmatik tadi.

Saya yakin, ketika sedang menulis novel kita akan berhenti sejenak entah di titik yang mana, yang jelas setelah A dan sebelum Z. Kita seolah mengalami kebuntuan berfikir, kemandegan ide, dan ketersesatan merangkai cerita. Plot kita menjadi kacau balau, dan logika pikir kita sendiri telah terkacauakan akibat panik takut tidak bisa menyelesaikan novel hingga ending. Inilah writerblock, inilah yang sering kita sebut “kehabisan ide”.

Setelah memecah alur menjadi satuan-satuan kecil, dan kita berhenti di tengah jalan karena mengalami writerblock, saat itulah kita dapat menggunakan model paradigmatik Saussure yang sudah saya paparkan di atas. Anggaplah kita menulis dan berhenti di titik J, nah dengan menggunakan model paradigmatik Saussure tadi, silakan masukkan sesuatu yang tidak memusingkan untuk diisikan ke slot J ini. Tadi kan kita sudah sepakat, bahwa saya makan buah, dapat diganti menjadi saya membeli/mencuci/mencuri/memetik/menjual buah. Ketika kita sedang menulis slot J mengenai “perjuangan si tokoh protagonis dalam mendapatkan cinta” misalnya, namun kita mengalami writerblock, ternyata kita juga bisa mengganti slot J tersebut dengan cerita yang lain tanpa mengubah maksud keseluruhan cerita novel. Sebagaimana kita mengganti kata makan dengan kata membeli/mencuci/mencuri/memetik/menjual maka kita akan mengganti “perjuangan si tokoh protagonist mendapatkan cinta” dengan sesuatu yang lain asalkan masih satu jenis, ya benar, seperti makan dan membeli yang masih dalam satu jenis kata kerja tadi. Maka gantilah tulisanmu itu dengan sesuatu yang kira-kira lebih mudah untuk kamu tulis, tenang saja, cerita utamanya tidak akan berubah kok.

Misalkan dalam sebuah novel kita sedang menulis (anggaplah di titik J kita berhenti):

Alivia. Tak terasa perutnya terus membesar, dan kini lebih mudah diamati perbedaannya. Tabungan Alivia bukan bertambah justru semakin berkurang. Persiapan untuk biaya melahirkan anaknya, tentu saja hanya mengandalkan uang tabungan itu, sayangnya…angka nominal di dalam sana terlalu sedikit. Ia nyaris putus asa dan ingin kembali ke Semarang saja, mengakui segala kesalahan pada sang ibunda dan memohon ampunan pada beliau. Pernah juga terlintas dalam pikirannya untuk mencari Galih lagi, ia akan meminta jatah kiriman uang setiap bulan karena ia mengandung anak Galih. Sempat pula ia membayangkan hidup bahagia bersama Randy yang baik hati bagai malaikat. Chiko? Ah, kekasih malang itu… sama sekali tak pernah masuk hitungannya. Paling konyol, paling konyol Alivia bermaksud menemui orang tua Galih dan menceritakan segala kesalahan tujuh bulan silam, mengadukan kepada orang terhormat itu bahwa anak kesayangan yang selalu ia bangga-banggakan, telah berkelakuan bejad menghamili anak orang, dan kini ia mencampakkannya begitu saja!

Sudah sekian bulan ia menumpang di rumah Cintya, tak ada rasa lain selain merasa sangat berdosa karena selalu bikin repot Cintya dan keluarga. Alivia berpindah ke jendela, menyingkap tirai putih cemerlang, lalu membuka pengunci jendela dan membukanya perlahan-lahan.

Isi cerita yang akan ditulis: kegundahan hati seorang Alivia.

Lalu tiba-tiba blank. Gak bisa mikir. Akhirnya pun diganti dengan subbjudul novel seperti ini:

Sejak peristiwa itu, sejak wawancara memalukan sebulan yang lalu itu, Alivia menjadi manusia minder yang tak berdaya pede. Siapa yang bisa menerimanya kini? Perutnya nyata-nyata sudah membesar, tubuhnya melar dan keningnya mengeriput akibat memikirkan ini itu. Dua bulan lagi, jika Tuhan baik dan mengijinkan itu terjadi, anak dalam kandungannya akan lahir. Namun dimana titik temu penyelesaian yang tepat, belum berhasil Alivia ketemukan. Kalau ia bersuami atau Galih tanggung jawab setidak-tidaknya, tentu ia tak segelisah begitu memikirkan nasibnya. Tentu Alivia tak pusing harus melahirkan dimana nanti. Tentunya Alivia tak memusingkan biaya kelahiran anaknya nanti. Tentunya segala persiapan kebutuhan bayi seperti baju-baju dan segala jenis sabun dan bedak sudah terlengkapi, jauh sebelum hari kelahiran nanti. Alivia? Ya Tuhan boro-boro sudah membeli uborampe seperti itu, memikirkan bulan depan apakah dirinya masih bisa periksa ke dokter kandungan atau tidak saja….sudah sangat memusingkan!

Rupanya Dewi Fortuna muncul bersama suara seruan adzan kota metropolitan. Jakarta, dalam setiap kenangan namamu tak lebih dari kota yang selalu membuat manusia tercekam. Satu dua saja yang bisa merasakan Jakarta adalah surganya Indonesia, fasilitas apa-apa tersedia! Jangan ditanya bagi orang-orang malang nasib seperti Alivia, yang mencari posisi kerja saja susah, Jakarta menjadi lawan tersendiri. Dewi Fortuna datang bersama siluet merah kirmizi yang terlihat hanya jika diamati dari pucuk menara Bakrie yang maha tinggi atau gedung-gedung serupanya, dialah malaikat Randy.

Isi cerita: Alivia ditemui oleh malaikat penolong benama Randy.

Model paradigmatik Saussure ini juga dapat digunakan ketika cerita sudah jadi, namun dianggap kurang greget, maka potonglah satu alur, lalu tulis kembali dengan sesuatu yang lain namun tetap berjenis yang sama dengan subcerita sebelumnya. Kita hanya merevisi menjadi cerita yang lebih kita sukai, lebih mudah untuk dituliskan namun bisa menambah nilai estetik novel kita.

Akhirnya harus saya sampaikan bahwa menulis novel itu tidaklah sulit. Percayalah juga, menyusun alur tidak sesulit yang kita dengar selama ini. Alur adalah permainan yang sangat matematik, singkat saja, mari kita potong alur itu menjadi satuan-satuan kecil lalu kita tulisi dengan sesuatu yang mungkin, yang masih bisa kita tulis sesuai dengan kemampuan yang kita miliki.

Semangat berkarya,

Suyatna 'ChikO" Pamungkas

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun