Sebuah hadis mengabarkan bahwa seorang pemimpin akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Pertanyaan itu tentunya tidak sekedar mengenai apa yang dipimpinnya, tetapi juga mencakup cara ia memimpin, hasil yang diperoleh lembaga yang dipimpinnya, dan sebagainya. Jelasnya, pertanyaan itu mencakup peran, fungsi, tanggung jawab serta kewenangan yang diberikan kepada seorang pemimpin selaras dengan keberadaan lembaga yang ada di bawah kepemimpinannya.
Pemimpin memiliki peran penting dalam mengarahkan dan membawa organisasi, lembaga, atau negara menuju tujuan yang lebih baik. Dalam menjalankan tugasnya, pemimpin tidak hanya harus memikirkan aspek administratif dan manajerial, tetapi juga moralitas dalam setiap langkahnya. Tugas utama seorang pemimpin adalah menjadi teladan, memberi inspirasi, serta mengambil keputusan yang adil dan bijaksana. Dengan kata lain, pemimpin bukan hanya bertugas membuat kebijakan atau mengelola sumber daya organisasi, melainkan juga membangun kepercayaan publik dan menunjukkan integritas moral yang tinggi.
Dengan demikian, seorang pemimpin perlu memahami etika kepemimpinan, sebuah konsep yang mencakup prinsip moral dan nilai yang harus dijunjung tinggi oleh seseorang saat ia diamanahi untuk memimpin. Hal utama dalam etika kepemimpinan itu antara lain mencakup integritas, kejujuran, keadilan, dan sikap empati yang tinggi.
Prinsip moral adalah landasan yang wajib dimiliki setiap pemimpin. Pemimpin yang bermoral tinggi akan menunjukkan integritas, kejujuran, empati, dan rasa tanggung jawab dalam kepemimpinannya. Prinsip moral yang kuat menjaga pemimpin agar tidak terjebak dalam konflik kepentingan atau menyalahgunakan wewenang demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Pemimpin yang baik akan mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, menjunjung tinggi nilai keadilan, dan menunjukkan keberanian untuk bertanggungjawab atas segala yang telah dilakukannya.
Seorang pemimpin yang baik harus siap menanggung konsekuensi atas setiap keputusan yang diambilnya, termasuk ketika melakukan kesalahan atau kegagalan. Mengakui kesalahan adalah bagian dari moralitas pemimpin, yang menunjukkan bahwa ia bukan hanya berpikir untuk mempertahankan citra, tetapi juga siap bertanggung jawab dan memperbaiki kesalahan atau kegagalan yang ada.
Sayangnya, di era ini, dalam beberapa kasus, kita seringkali disuguhi informasi-informasi mengenai sikap-sikap para pemimpin kita, yang tidak saja menunjukkan ketidakmampuannya dalam menjalankan kepemimpinan, tetapi juga mengelak bahkan lari dari tanggung jawab. Alih-alih bertanggung jawab, mereka bahkan seringkali menyalahkan pihak lain, atau menganggap kegagalan tersebut sebagai hal yang biasa. Kenyataan inilah yang justru akan merusak kepercayaan publik dan secara jelas menunjukkan bahwa pemimpin tersebut kurang memiliki moralitas yang tinggi.
Sebagai bangsa yang meletakkan berbagai aspek kehidupan kita di atas nilai-nilai luhur Pancasila, dan menjadikan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai asas pertama dan utama, hal-hal yang menyangkut akhlak atau etika sepantasnya bukan lagi menjadi sesuatu yang perlu dipermasalahkan. Bukankah inti kepercayaan kepada Tuhan sesungguhnya adalah tentang akhlak atau perilaku baik? Akhlak yang baik, seperti jujur, rendah hati, penyayang, dan adil, merupakan manifestasi dari kepercayaan kepada Tuhan. Seseorang yang benar-benar percaya kepada Tuhan akan berusaha untuk mencontoh sifat-sifat-Nya Yang Maha Baik, dan menunjukkan kebaikan dan kasih sayang kepada sesama, serta menjalani hidup dengan penuh integritas dan tanggung jawab.
Dengan demikian, kepercayaan kepada Tuhan bukanlah sebatas keyakinan dalam hati, atau pengakuan beragama sebagai sebuah identitas diri, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana keyakinan itu tercermin dalam tindakan nyata sehari-hari. Sehingga, tanpa akhlak yang baik, kepercayaan pada Tuhan menjadi tidak sempurna, karena ajaran Tuhan pada dasarnya mengarahkan manusia untuk menjadi pribadi yang bermanfaat bagi dirinya sendiri, lingkungan, dan alam semesta.
Dengan begitu banyaknya oknum pemimpin yang mengelak ketika dimintai tanggung jawab, menyalahkan orang lain ketika berbuat kekeliruan atau kegagalan, dan tetap ingin berkuasa dengan tanpa rasa malu serta menghalalkan segala cara, menunjukkan bahwa kita tidaklah lebih baik -- kalau tidak dikatakan lebih buruk, dari bangsa-bangsa yang tidak menempatkan kepercayaan kepada Tuhan sebagai landasan utama dalam bernegara.
Justeru tidak jarang kita dapati, di negara-negara yang tidak secara eksplisit menyebutkan kepercayaan kepada Tuhan sebagai landasan utama dalam bernegara, budaya malu dan kehormatan diri sangat dijunjung tinggi. Ketika seorang pejabat atau pemimpin merasa gagal menjalankan tugasnya, mereka tidak sekedar meminta maaf dan berjanji untuk memperbaiki, tetapi juga tidak sedikit yang mengundurkan diri sebagai sebuah bentuk pertanggungjawaban atas kepercayaan yang telah diberikan kepadanya. Namun sebaliknya, di Indonesia, kita masih sering menemui fenomena di mana beberapa pemimpin tidak merasa perlu untuk mengakui kesalahan atau bahkan meminta maaf ketika terlibat dalam skandal atau masalah besar. Beberapa pemimpin tetap bertahan di jabatannya meskipun ada bukti korupsi, pelanggaran etika, atau kinerja yang buruk. Sikap seperti ini mencerminkan kurangnya moralitas dan akuntabilitas dalam kepemimpinan, serta dapat memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap institusi yang mereka pimpin.
Pemimpin yang baik bukan hanya mereka yang pandai membuat kebijakan, tetapi juga yang memiliki hati nurani dan bersedia bertanggung jawab atas setiap tindakan yang dilakukan. Jika pemimpin tidak menunjukkan sikap moral yang baik, maka rakyat yang dipimpin pun akan kehilangan rasa hormat dan kepercayaan.