Mohon tunggu...
Suyat 1998
Suyat 1998 Mohon Tunggu... -

#KamiBelumMati

Selanjutnya

Tutup

Catatan

PPP Tarik Dukungan, Prabowo Lempar Ponsel

30 April 2014   22:36 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:00 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignnone" width="620" caption="Sumber : Tempo"][/caption]

Menarik mencermati pemberitaan Tempo di atas, sekalipun kilas balik, namun tetap utuh sebagai sebuah pembelajaran ke depan. Sulit berfikir tentang Indonesia esok, jika mental yang tersisa adalah mental ‘pemimpin’ namun tak terdidik. http://www.tempo.co/read/news/2014/04/29/078574071/PPP-Tarik-Dukungan-Prabowo-Lempar-Ponsel

Ketegasan berbeda dengan tempramental, emosi berbeda dengan emosional. Pakem inilah yang selalu digembar gemborkan oleh Prabowo Subianto dalam berbagai iklan kampanye politiknya. Pakem ketegasan sebagai antitesa dari sosok SBY yang dinilai lamban.

Namun benarkah ketegasan yang dibutuhkan negeri ini adalah tegesan lempar ponsel?

Jika benar demekian, seorang teman sambil seloroh menyatakan bahwa APBN Indonesia berikutnya perlu menyisihkan anggaran membeli ponsel untuk dilempar-lempar oleh Prabowo jika terpilih menjadi presiden.

Kita bangsa pelupa, tapi tak berarti harus dilenakan. Sebuah pepatah menyebut, Pengkhianat jadi diagungkan di alam demokrasi itu begitu sangat mungkin, tapi tak berarti. Alam demokrasi membenarkan kita menganggungkan pengkhianat.

Mungkin hanya Fadli Zon satu-satunya manusia di muka bumi ini yang bisa menjadi pelampiasan emosi Prabowo Subianto berkali-kali, selebihnya kapan tak kapok?

Sepak terjang Prabowo sebagai tentara medan tempur diakui banyak pihak sungguh cemerlang, namun watak kepemimpinan Prabowo sebagai mesin tempur tidak bisa berada tanpa kendali. Artinya Prabowo adalah sang ekesekutor, bukan sebagai konsep dan sesorang yang bisa memegang tampuk kekuasaan. Harus ada penyeimbang.

Sudah ah, cukup sekian tulisan ini. kalau saya menebak-nebak tulisan ini juga nantinya akan dihapus oleh Admin Kompasiana, dianggap mendiskreditkan mantan Danjen Kopassus tersebut. padahal, jelas apa yang sedang di bicarakan di laman ini adalah topic refleksi yang sudah menjadi konsumsi publik sejak tahun 2009 lalu.

Kita bisa memaafkan, tapi kita tidak bisa membiarkan rasa adil setiap orang digantung atas maaf tersebut. keluarga korban penculikan Aktivis 97-98 mungkin sudah menerima anggota keluarganya sudah hilang. Namun rasa adil dan harapan bagi mereka untuk menemukan titik terang harus tetap terjaga.

Prabowo boleh jadi calon  Presiden, tapi keluarga Aktivis yang hilang juga boleh mendapatkan keadilan atas keluarga mereka yang hilang hingga kini. Satu kali Fadli Zon pernah di tantang untuk membuat puisi tentang penculikan. Agar ia memahami perasaan keluarga yang menjadi korban penculikan. Tidak melulu menjadi corong kosong Prabowo yang terus berkoar-koar bahwa tragedy penculikan adalah kasus usang. Atau mungkin. Saya dari jauh ikut mengaminkan doa teman-teman di twitter agar Fadli Zon juga menjadi korban penculikan… agar ia mengerti apa rasanya kehilangan namun tidak benar-benar yakin sudah hilang. Apa rasanya menganggap seseorang telah mati namun tidak pernah tahu apa ia mati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun