Mohon tunggu...
Suyanto Suyanto
Suyanto Suyanto Mohon Tunggu... Human Resources - Guru, Widyaiswara, Anggota BAN-S/M

Ketua BAP-S/M Provinsi NTB.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kurikulum-Kurikulum yang Gagal

1 September 2013   05:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:32 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Umar bin Khatab, orang bijak di abad ke 7 masehi mengatakan: “Didiklah anak-anakmu karena mereka akan hidup pada zaman yang berbeda dengan zamanmu”.   Mengingat bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana, di era turbulensi perubahan saat ini, diperlukan orang-orang yang peka dan tanggap terhadap perubahan kebutuhan.  Para kelaksana pendidikan harus dapat membuat perencanaan untuk mempersiapkan peserta didik menghadapi kehidupannya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan zamannya.

Kurikulum di pendidikan formal adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan.  Silang pendapat di setiap perubahan kurikulum pasti terjadi.  Tetapi seharusnya bukan penolakan terhadap perubahan, melainkan pada substansi kurikulum apakah sudah dapat memenuhi kebutuhan peserta didik sesuai zamannya.  Tujuan merupakan komponen yang paling utama karena akan menentukan komponen lainnya yaitu isi, bahan ajar dan cara penyajian.  Dari rumusan tujuan kita juga akan tahu peserta didik akan dibawa kemana. Untuk bisa merumuskan dengan benar doperlukan pola pikir yang selaras dengan ruh kurikulum. Persoalannya adalah: Sudahkah para pendidik merumuskan tujuan sesuai dengan tuntutan kurikulum yang sedang digunakan?

Kurikulum 1947, 1957 hingga 1968 hanya berisikan daftar bahan ajar.  Dengan demikian tidak keliru jika guru memiliki pemahaman bahwa mengajar adalah mentransfer bahan ajar tersebut kepada muridnya.  Kurikulum 1975 dikembangkan berbasis tujuan.  Dalam membuat perencanaan, guru harus menetapkan kemampuan siswa yang harus dicapai melalui rumusan Tujuan Instruksional (pengajaran) Khusus atau TIK. Rumusan tujuan dimulai dengan kata “Siswa dapat ….”.  Kurikulum 1984 mengutamakan keterampilan proses.  Kata pengajaran diganti dengan pembelajaran; untuk pengajaran guru yang aktif, di pembelajaran murid yang aktif.  TIK diganti Tujuan Pembelajaran Khusus.  Rumusan tujuan seharusnya diubah menjadi “Dengan cara …., siswa dapat ….”.  Sayang sekali rumusan semacam ini tidak pernah dituliskan oleh guru hingga perubahan kurikulum berikutnya 1994 yang berbasis tema.

Dari empat kali perubahan tersebut tampak jelas perubahan pola pikir yang dituntut.  Jika benar-benar diikuti, sejak 30 tahun yang lalu,  mestinya akan bermunculan guru-guru yang kreatif dan inovatif karena mereka sibuk mencari bebagai strategi pembelajaran yang membuat siswanya aktif.   Filosofi Kurikulum 1984 adalah “Jangan berikan ikan kepada anak-anak, tapi berikan kail dan jala agar mereka bisa menangkap ikan sendiri”

Kendala utama adalah kebijakan implementasi yang tidak sejalan dengan perubahan pola pikir.  Di antaranya kewajiban guru untuk membuat Analisis Materi Pelajaran (AMP) dan tagihan di akhir semester tentang “target kurikulum” yang dimaknakan sebagai hasil perhitungan persentase bahan ajar yang dapat diselesaikan.  Akibatnya esensi Kurikulum 1975 yang mengutamakan tercapainya kemampuan peserta didik dan Kurikulum 1984 yang mengutamakan keterampilan proses diabaikan.  Tidak sedikit orang mengatakan bahwa CBSA, yang sebenarnya baik itu, telah gagal.

Demikian pula Kurikulum 1994 yang kemudian disempurnakan tahun 1996, lagi-lagi hanya memperhatikan padatnya bahan ajar.  Masih segar di ingatan kita bahwa kurikulum ini diberi predikat “Ramping tapi montok”. Beberapa bahan ajar dikurangi akan tetapi ada pula yang diperluas isinya.  Target kurikulum harus 100%.  Guru bak sopir angkot yang dikejar setoran.  Pembelajaran hanya menghabiskan bahan ajar tak mempedulikan kemampuan siswa.

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004 berubah menjadi “Kurikulum Berbasis Kebingungan” karena ternyata banyak konsep yang tidak sampai walaupun dari persiapan hingga implementasi memakan waktu yang cukup lama.  Sejumlah sekolah mengajarkan kepada peserta didiknya keterampilan berbisnis yang menurutnya adalah kecakapan hidup.  Sistem peringatan dini (the early warning system) yang merupakan salah satu ciri basis kompetensi tidak pernah dihiraukan.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hingga sekarang, masih banyak yang belum menangkap ruh kurikulum ini.  Peraturan Menteri Nomor 41 tahun 2007 tentang Standar Proses, menyatakan bahwa tujuan pembelajaran yang dirumuskan oleh guru harus menggambarkan “proses” dan “hasil belajar” yang merupakan pencapaian kompetensi dasar (KD). Masih banyak guru bahkan fasilitator yang belum merumuskan tujuan pembelajaran sesuai dengan harapan kurikulum.  Karena rumusan tujuan ditulis setelah indikator, dianggap sebagai penjabaran dari indikator.  Padahal batasannya jelas bahwa indikator adalah perilaku yang dapat diukur untuk menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar tertentu yang menjadi acuan penilai­an mata pelajaran. Ini sama perssis dengan TIK pada Kurikulum 1975.  Teori menyebutnya “Instructional (behavioral) objectives”. Indikator inilah yang dijadikan dasar penyusunan instrumen penilaian.   Sedangkan Tujuan Pembelajaran yang dikehendaki oleh KTSP adalah “Instructional Goals”.  Instructional goal provides overall guidance and organization to the instructional process, Bonstingl (2001).

Proses berimplikasi pada cara peserta didik belajar.  Melalui cara tertentu pendidikan karakter dilatihkan misalnya; melalui kegiatan pengamatan, dapat diajarkan karakter rasa ingin tahu, kecermatan, dan kejujuran dalam melaporkan hasil.  Dengan kerja kelompok, siswa berlatih berdemokrasi, menghargai orang lain, kerjasama, dan tanggung jawab.  Sedangkan hasil belajar adalah kemampuan yang merupakan jawaban pertanyaan: Apa yang bisa dilakukan oleh peserta didik untuk memecahkan masalah dalam hidupnya (life skills) setelah menguasai KD tersebut?  Atau dengan kata lain: Apa manfaat penguasaan KD bagi kehidupan peserta didik?

KTSP telah gagal jika memang para pendidik belum benar-benar memahami ruh kurikulum ini.  Pendidikan Karakter yang merupakan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2010 sebenarnya bukan hal yang baru karena pendidikan karakter menjadi perhatian terpenting dalam KTSP.  Akan tetapi patut disayangkan bahwa bahan ajar di sejumlah materi diklat yang saya temukan belum mengarah ke sana.  Quidquid recipitur ad modum recipientis recipitur”; apa yang diterimakan, akan diterima sesuai dengan cara orang menerimakannya.   Untuk sejumlah guru, implementasi KTSP jauh panggang dari api. Pemahaman konsep yang salah ini tidak saja menyebabkan guru salah jalur tetapi juga salah arah.  Ini membuktikan bahwa mengubah pola pikir itu tidak mudah.

Dasar perencanaan pembelajaran untuk Kurikulum 2013 adalah Permendikbud Nomor 65 tahun 2013.  Disebutkan bahwa tujuan pembelajaran dirumuskanberdasarkanKD,dengan menggunakan  kata  kerja  operasional yang  dapat  diamati  dan diukur, yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.  Kata Berdasarkan berarti “mempertimbangkan” bukan “dijabarkan dari”, dan kata mencakup berarti yang disebutkan menjadi satu kesatuan yang utuh dan saling berhubungan.  Berbeda dengan “terdiri dari” di mana masing-masing komponen bisa berdiri sendiri-sendiri.   Berdasarkan permendikbud ini, rumusan tujuan yang utuh bisa dibuatkan kata kuncinya.  Dengan kemampuan..1.. (pengetahuan), peserta didik melakukan ..2..(keterampilan), dengan cara ..3..(perilaku sosial), yang didasari oleh ..4.. (perilaku kegamaan).   Untuk rujukan kata kerja operasional, bisa dilihat Bloom Taxonomy, Anne’s Word, atau Core Thinking Skills untuk tiga ranah pengetahuan, keterampilan dan sikap.

Rumpang 3 dan 4 merupakan tuntutan Kurikulum 2013 yang mengutamakan sikap atau karakter.  Rumusan di atas sekadar contoh.  Mungkin bisa dibuat rumusan yang berbeda akan tetapi ruh pendidikan karakter jangan sampai diabaikan.  Bukankah karakter bangsa yang sedang karut marut merupakan produk kurikulum?  Pendidikan karakter bukan retorika, melainkan usaha sadar, terencana dan melalui keteladanan.

Dari uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa kegagalan kurikulum bukan disebabkan oleh kelemahan kurikulum itu sendiri.  Perubahan kurikulum bukan berarti bahwa kurikulum sebelumnya itu jelek atau gagal.  Kurikulum pendidikan mutlak harus selalu ditinjau kembali dan disempurnakan setiap saat.  Kurikulum harus dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup yang dibutuhkan sesuai dengan jamannya.  Hambatan atau kegagalan implementasi terletak pada pola pikir pendidik dan tenaga kependidikan.  Harus dihindari pernyataan yang sering muncul: “RPP tidak ada yang salah, yang salah yang tidak membuat RPP”.  Ini sangat penting karena orang bijak mengatakan “ Jika anda gagal dalam merencanakan sama dengan merencanakan kegagalan”.   Mari kita implementasikan Kurikulum 2013 dengan penuh tanggung jawab agar menghasilkan generasi yang bermartabat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun