Allah di Lahan Terbengkalai (God in the Wasteland), sebuah buku dengan judul yang cukup unik dengan isinya yang cukup mengusik.  David F. Wells dalam buku ini mencoba memaparkan perkembangan zaman khususnya mulai dari zaman pencerahan dengan semakin berkembangnya pengetahuan dan tekhnologi disertai dengan perubahan budaya memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap  gereja Injili. Â
Dalam buku ini Wells mengemukakan tesisnya dengan latar belakang sejarah terutama sejarah perkembangan masyarakat atau budaya di Amerika, dan juga dari hasil survey terhadap para mahasiswa tujuh seminari yang cukup representatif di Amerika. Â Â Â Â Â Â Â Â
Menurut Wells, Allah yang Alkitabiah dalam gereja Injili mulai di era modern sampai pasca-modern semakin tersingkir, teologi semakin ambigu, permasalahan moral dan etika lebih dilihat sebagai problem psikologis, managemen gereja semakin menyerupai managemen pasar, theosentris berubah menjadi humansentris.Â
Kondisi gereja yang demikian sangat bahaya, untuk itu gereja perlu mereformasi diri. Selama ini gereja hanya mereformasi kegiatan-kegiatan rutinnya yang dianggap kuno, musik yang membosankan, program-program, khotbah yang terlalu kaku, hanya seputar masalah organisasi dan administratif, gaya dan kenyamanan.Â
Gereja Injili perlu mereformasi dengan memisahkan diri dari duniawi, berhenti jadi supermarket, kembali kepada Allah Alkitab. Â Allah-lah yang paling dibutuhkan oleh gereja, Allah dalam anugerah dan kebenaran-Nya, Allah dalam hadirat-Nya yang kudus dan menakjubkan. Â
Wells menyadari dan mengakui perubahan atau reformasi yang diharapkannya tidaklah dapat terjadi dengan sekejap, dan harus bertolak dari theosentris bukan humansentris lagi. Â Â Â
Sumber: Â David F. Wells, Allah di Lahan Terbengkalai. Â Surabaya: Momentum. Â xiii+354 hal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H