Mohon tunggu...
Suwito Catur Prakasya
Suwito Catur Prakasya Mohon Tunggu... wiraswasta -

Belajar Hukum = Belajar Seni

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kuman Saja Berevolusi, apalagi Manusia?

28 Agustus 2014   15:20 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:18 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Malam kemarin saya kedatangan tamu dari luar kota. Kami bercengkrama seperti orang semestinya yang lama tidak berjumpa, terpisah jarak dan kesibukan, ditengah kerinduan yang mungkin sama-sama kami rasakan. Perbincangan seperti bola yang mengiring ketengah lapangan, kepinggir bahkan keatas dan kebawah. Perbincangan kami tidak terarah, bahkan lebih banyak candaan dan tawa setiap pertanyaan maupun jawaban kami saling bersaut. Hingga pada ketika pembicaraan kita mengarah pada nostalgia masa kanak-kanak ketika masa permainan kelereng, bola bekel, lompat karet, dan permainan tradisional yang biasa kita mainkan sepulang sekolah maupun sepulang mengaji.

Teman melontarkan kata-kata "Anak muda sekarang kok kurang sopan ya bro, bicara sama orang lain sambil memainkan handphonenya". "Zaman kita dulu boro-boro main handphone, bicara sama orang lain tidak menatap wajahnya saja maka lawan bicara kita akan tersinggung". Ya begitulah fenomena remaja gadget julukan para netizen buat para anak baru gede di kota-kota besar Indonesia yang sudah mulai mempengaruhi kota-kota kecil lainnya. Ketika mereka lebih memilih bicara di dunia maya dibanding berinteraksi dengan dunia nyata, ketika mereka lebih memilih game online dibanding permainan tradisional, dan ketika mereka lebih memilih bicara dengan gadgetnya dibanding bicara dengan orang nyata di depan, samping atau dibelakang mereka.

Itulah fenomena yang kami rasakan anak-anak era 1990 an yang mana permainan super canggih hanya kami rasakan yakni dingdong, sega, bahkan sony playstation 1 saat itu yang harga sewanya sudah mencapai Rp. 3000 merupakan barang mewah buat kami. Berbeda dengan remaja saat ini ketika smartphone, tablet, kamera DSLR, game online sudah menjadi konsumsi sehari-hari dan bukan merupakan barang mewah lagi karena hampir semua remaja kami perhatikan sudah memiliki salah satu gadget yang kami sebutkan diatas, bahkan ada yang memiliki semuanya. Wow sangat hebat. Obrolan kami terus berjalan, menggulir, dan beropini satu sama lain. Fenomena Manusia Berevolusi apakah memang seperti ini? Ketika masyarakat sudah lebih nyaman dengan dunia maya dibanding dunia nyata.

Siapa yang dipersalahkan? Teknologi? Masyarakat? Atau bagaimana? Kami sangat ingat saat beranjak remaja dulu bahwa Sepeda Motor Matik menjadi idola baru bagi remaja-remaja di era 2003-2007 untuk dimiliki. Masyarakat yang sudah mulai bosan mengendarai sepeda motor dengan mesin manual dan semi manual. Saat itu daftar pesanan salah satu pabrikan sepeda motor jepang yang pertama kali mengeluarkan sepeda motor matik kebanjiran pesanan hingga kewalahan diluar dugaan mereka yang berfikir bahwa sepeda motor matik kurang digandrungi masyarakat Indonesia. Beranjak ke tahun berikutnya ketika fenomena Smartphone Kanada yang menjadi sangat booming dengan fitur instant masangernya. Luar biasa respon pasar saat itu. Peralihan masyarakat dari komputer desktop ke Notebook. Hingga hal-hal lain yang tidak dapat kami sebutkan satu-satu di perbincangan kami semalam.

Jarum jam sudah menunjukkan pergantian tanggal, kami masih asyik berbincang satu sama lain membahas fenomena remaja saat ini, hingga saat kami bernostalgia ketika sebelum era Teknologi  pertemanan dan kesetiakawanan kita acungkan jempol. Saat kami menjadi artist radio ternama di Kota Kami, kami disibukkan dengan TTS, kami disibukkan dengan lanjutanpermainan tradisional yang semuanya tidak terlepas dari interaksi sosial dunia nyata. Jujur kami merindukan kebisingan di depan rumah kami, ketika anak-anak sibuk memikirkan kemenangan kelompoknya dalam permainan tradisional, ketika kami disibukkan dengan kegiatan mengaji, ketika kami disibukkan dengan makan-makan bersama dari hasil memancing, berkebun atau bahkan mencuri buah-buahan dahulu. Kami sudah jarang melihat hal yang demikian di kota-kota Indonesia, apalagi kota-kota besar ketika anak-anak,remaja tinggal di apartemen, jangankan memiliki teman dirumah, siapa tetangga mereka saja mereka tidak tahu. Ketika mereka tidak mengenal lagi permainan tradisional, seperti apa bentuknya apalagi cara memainkannya. Semoga permainan tradisional yang penuh edukasi dan melatih Kognitif, Afektif maupun Psikomotor anak bisa kembali lagi oleh para penggiat permainan tradisional termasuk di daerah-daerah.

"Permainan Bukan Hanya Hiburan, Tetapi Juga Pendidikan. Teman Bukan Hanya Sekedar Teman, Tetapi Juga Menjadi Pegangan Ketika Kalian Merasa Dalam Ketidakberdayaan".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun