Mohon tunggu...
Suwardi Jashar
Suwardi Jashar Mohon Tunggu... -

masih ingin "mengambil pelajaran" di setiap tempat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Guru Harus Memilih

14 September 2013   09:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:55 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Bagi seorang muslim, aktivitas yang dilakoni -apapun profesinya- senantiasa diikat dalam konsep ibadah. Hal ini dapat dilihat dari hakikat penciptaan manusia yang tidak lain adalah untuk beribadah kepada-Nya (QS. Adz-Zaariyaat:56). Dengan sendirinya, kita tidak dapat sebebas-bebasnya, karena niscaya ada aturan yang mengikat. Dalam kehidupan bermasyarakat, “konsep” tersebut dapat kita temukan sangat jelas dan tegas. Contoh yang sederhana, misalkan tertib berlalu lintas. Dapat dibayangkan jika di jalan raya tidak ada rambu-rambu lalu lintas? Tentu berbagai kecelakaan akan menjadi pemandangan rutin untuk kita saksikan.

Manifestasi dari “eksistensi”tersebut, tentu tidak serta merta menjadikan kita “patuh dan taat”. Pada perjalanannya, faktor lingkungan berperan dalam “perekayasa”. Namun sebagai tindakan “preventif” kita diberikan “motivasi ideologis” dengan; “hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah kita perbuat untuk hari esok (QS. Al-Hasyir:18); kebaikan maupun kejahatan sebesar zarrah pun akan tetap memperoleh balasan (QS. Al-Zalzalah:7-8); segala perbuatan manusia tidak lepas dari pengawasan-Nya (QS. Yunus:61); Allah tidak akan merubah nasib kita melainkan kita sendiri yang [harus] mengubahnya (QS. Ar-Ra’du:11); Hendaklah ada sebagian dari kita menyeru kepada kebaikan mencegah kepada kemungkaran (QS. Ali-Imron:104); setiap kita adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang kita pimpin (Hadits)”, dan lain sebagainya.

Dalam kehidupan, banyak ditemukan dinamika yang terkadang menghadapkan kita pada pilihan-pilhan, yang -cepat atau lambat- merupakan kebutuhan kita untuk menjawabnya. Adalah sunatullah, apapun pilihan kita, mengandung konsekuensi logis tersendiri. Pilihan kita A misalnya, tentu mengandung konsekuensi A. Begitu pula dengan konsekuensi B yang akan diperoleh jika pilihan kita B. Boleh jadi saat menentukan pilihan, peperangan terjadi pada nurani kita. Terkadang rasa bersalah saat menentukan pilihan tersebut menjadi beban bagi kita, karena sesungguhnya setelah menentukan pilihan, suatu kekeliruan kalau kita apatis begitu saja. Artinya, kita memiliki tanggung jawab moral terhadap pilihan tersebut. Manakala pilihan kita ternyata membuat kerusakan sehingga kehidupan menjadi tidak seimbang, tentu ada “saham” kita di dalamnya. Begitupun sebaliknya, jika pilihan kita menebar kebaikan. Jadi sekecil apapun kontribusi “amal” kita, tetap akan diperhitungkan. Oleh karenanya, penting untuk mengamati dan menganalisa sekaligus mengambil pelajaran dari segenap aktivitas yang pernah dan sedang dilakukan orang-orang terdahulu hingga saat ini.

Belajar dari Teladan

Dilihat dari asal pemerolehannya, setidaknya terdapat dua jenis teladan yang darinya kita dapat mengambil pelajaran berharga. Pertama, teladan yang kita peroleh dari orang-orang yang berhasil menciptakan peluang kebaikan. Kita sebut ini dengan teladan kebaikan. Apa yang dapat kita pelajari dari teladan pertama ini? Teladan jenis ini lebih diarahkan pada aspek refleksi dan peniruan. Seorang enterpreneur dan pelatih sukses Indonesia, Tung Desem Waringin, pada kesempatan berbicara tentang orang-orang sukses, memberikan rumus ATM (amati, tiru dan modifikasi). Dalam konteks ini, rumus ATM relevan untuk menjawab kebutuhan kita dalam menentukan pilihan. Pilihan kita pada orang-orang sukses yang banyak menciptakan peluang kebaikan, akan memberikan dampak pada perilaku kita. Dengan sendirinya, ketika kebaikan menjelma, kita memiliki saham di dalamnya.

Dilihat dari aspek motivasi ideologis, akan terlihat lebih jelas lagi. Sebagai muslim, teladan yang utama tentu saja Rasulullah SAW, berikutnya sahabat dan salafusshalih. Teladan sahabat Mushab bin Umair misalkan, beliau dengan keteguhannya menentukan pilihan dengan meninggalkan kemewahan yang sejak kecil diperolehnya dan menukarnya dengan “penderitaan” karena harus berpisah dengan keluarganya dan dimusuhi kerabatnya sendiri. Hingga sejarah mencatat, saat beliau meninggal, kain yang digunakan untuk menutup jenazahnya tidak mencukupi karena jika harus menutup kaki, wajahnya akan kelihatan, begitu pula jika menutup wajah, kakinya akan kelihatan. Dengan motivasi yang sama, mulai dari khulafaur rasyidin maupun sahabat yang lain memiliki kisah masing-masing yang sangat berharga untuk diteladani. Inilah contoh-contoh teladan kebaikan bagi kita dalam menentukan pilihan. Pada konteks kekinian, kita mengenal seorang whistle blowers Khairiansyah Salman yang dengan keberaniannya mengambil sikap membuka korupsi di komisi pemilihan umum (KPU). Atau teladan dari Inu Kencana yang “sendirian” menghadapi kasus kekerasan di kampus IPDN dan mengungkap “kebenaran”. Bisa juga kisah-kisah inspiratif dari belahan dunia lain dengan beragam konteks. Dan banyak contoh lainnya yang barangkali bisa ditemukan pada lingkungan sekitar.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana teladan yang kita peroleh ketika pelakunya justru dicatat sejarah menciptakan peluang keburukan. Apa yang dapat kita pelajari dari teladan ini? Pada teladan jenis kedua ini, lebih diarahkan pada aspek refleksi. Contoh paling nyata tentu saja dapat kita lihat pada seorang Fir’aun, Namrudz, kafir Quraisy serta orang-orang yang menjadi tokoh sentral penentang kebenaran. Apapun pilihan yang diambil seorang Fir’aun misalnya, kita tetap dapat mengambil pelajaran berharga dari ikon kezaliman ini. Tentu dengan cara yang berbeda setiap orang dapat memaknai dan merefleksikan kisah Fir’aun dan kisah sejenis lainnya.

Jika saat ini kita dihadapkan pada realita pelaksanaan UN –sedemikain rupa-, maka bagi seorang guru tentu sebuah pilihan untuk untuk sampai pada kesimpulan: “laksanakan UN dengan sepenuh hati” Akibat pilihan ini, apakah menjadi teladan kebaikan atau teladan keburukan, konsekuensi logis adalah sebuah keniscayaan. Jadi apapun pilihan nantinya, kita tetap dapat mengambil pelajaran berharga sambil berharap kemaslahatan bersama senantiasa tercapai. Semoga. Wallau’alam.

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun