Pandemi Corona Virus Disease 2019Â (COVID-19) merupakan bencana besar bagi seluruh umat manusia di dunia. Bencana ini telah memakan korban sebanyak 1,56 jt jiwa meninggal serta mencapai penanganan kasus 68,4 jt. WHO (World Health Organization) secara resmi telah menyatakan bahwa virus ini telah menyebar secara luas di seluruh dunia. Virus COVID-19 pada umumnya menimbulkan gejala seperti demam dan batuk. Bakteri dari virus ini dapat membahayakan dan penyebarannya bersifat rata tanpa tidak memandang usia. Untuk itu menjadi sebuah kepentingan bagi seluruh lapisan masyarakat dalam mencegah rantai penyebaran dari COVID-19. Tanpa disadari hadirnya masa ini membawa dampak besar bagi pekerja migran Indonesia di luar negeri. Sebabnya penyebaran COVID-19 merubah beragam hal dalam tata cara hidup masyarakat dunia. Pekerja migran seringkali dihadapkan pada tantangan dan risiko yang besar dalam bekerja di luar negeri, termasuk tekanan sosial, masalah bahasa dan budaya, serta risiko pelecehan atau eksploitasi oleh pemberi kerja. Selain itu, mereka juga menghadapi tantangan dalam hal legalitas dan administrasi, seperti perizinan kerja dan izin tinggal. Kondisi dan perlakuan pekerja migran semasa pandemi COVID-19 juga menjadi isu penting di banyak negara. Ada kasus-kasus di mana pekerja migran diperlakukan tidak adil dan tidak manusiawi oleh pemberi kerja, serta diabaikan oleh pemerintah dan sistem hukum. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan dan memperjuangkan hak-hak pekerja migran serta memberikan perlindungan dan bantuan bagi mereka. Pekerja migran dipaksa untuk melakukan adaptasi dengan situasi ini dan tetap bertahan dalam masa sulit ini.
Pekerja migran merupakan salah satu dari banyak tonggak pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini terbukti dari kontribusi mereka dalam meningkatkan pendapatan negara dan juga peningkatan produktivitas ekonomi. Pendapatan yang dikirimkan oleh pekerja migran atau remitansi ini memberi bantuan finansial bagi kesejahteraan keluarga mereka di Indonesia. Penerimaan pemasukan devisa ini sejatinya berguna untuk menciptakan kebijakan dalam pelayanan hak pekerja migran di luar negeri. Muncul pertanyaan apakah hal ini telah berjalan selama masa pandemi COVID-19. Sebagai warga negara yang sah, pekerja migran memiliki hak untuk merasakan pelayanan yang sama dengan pekerja dalam negeri. Perlu dicatat bahwa pekerja migran memiliki hak yang sama setara dengan pekerja lokal dalam hal upah, hak sosial, dan perlindungan hukum. Oleh karena itu, penting bagi negara tujuan untuk memastikan bahwa pekerja migran diperlakukan dengan adil dan diakui hak-hak mereka sebagai pekerja. Namun situasi keadaan berkata lain, mereka sang pahlawan devisa seringkali tidak mendapat hak tersebut dan menerima kekerasan di luar negeri serta tidak mendapat perlindungan. Menurut data dari kementrian koordinator bidang perekonomian, sebelum masa pandemi remintansi pekerja migran mencapai rata-rata USD 9,8 milliar per tahun-nya. Angka ini merupakan nominal yang fantastis seiring meningkatnya pekerja Indonesia yang bekerja di luar negeri.
Secara garis besar, dapat dikerucutkan risiko yang dimiliki oleh pekerja migran ada 2 yaitu risiko biaya keuangan dan risiko bekerja. Risiko biaya keuangan biasa menyangkut persoalan mengenai peningkatan biaya berangkat bagi para pekerja ke negara tujuan. Pembengkakan biaya ini akibat terdapat tambahan biaya bagi mereka untuk melakukan karantina serta tes COVID-19. Prosedur ini memberatkan para pekerja migran karena harus mengeluarkan biaya yang besar untuk melewati syarat ini. Mayoritas dari pekerja migran mengeluh atas tidak adanya program pemerintah yang menanggung biaya keberangkatan mereka. Kedua adalah risiko bekerja yang meningkat akibat masa transisi pandemi COVID-19. Banyak dari calon pekerja migran terpaksa gagal berangkat sebab perusahaan penerima bangkrut dan faktor lain sebagainya. Muncul berbagai ketakutan dari lembaga penyedia jasa bantuan calon pekerja karena transmisi virus yang terjadi begitu cepat. Faktor ini membuat banyak negara menutup kerjasama dalam mendatangkan pekerja ke dalam negeri akibat risiko ini. Pekerja migran mungkin saja dalam kondisi kesehatan yang buruk dan tidak mempunyai akses yang memadai untuk ke fasilitas kesehatan di negara mereka bekerja. Selain itu, terdapat kesulitan bagi mereka untuk mengajukan perawatan medis di negara tujuan.
Pekerja migran seringkali mendapatkan upah yang rendah akibat pemotongan dari lembaga penyaluran jasa, sehingga mereka tidak memiliki cukup uang untuk berobat. Semasa pandemi juga, negara di dunia melakukan kebijakan imigrasi yang sangat ketat untuk menekan penyebaran laju virus. Hal ini berdampak pada kesulitan pekerja untuk memasuki dan meninggalkan tempat mereka bekerja. Tidak jarang juga, dimasa pandemi pekerja migran Indonesia mendapat perlakuan diskriminasi di tempat kerja. Pekerja migran menjadi sering menghadapi diskriminasi atau perlakuan tidak adil dari masyarakat setempat selama masa pandemi, terutama karena mereka dianggap sebagai sumber penyebaran virus COVID-19. Pekerja migran mungkin dianggap sebagai kelompok yang kurang berpendidikan atau tidak mengerti tentang kebijakan pencegahan COVID-19. Hal ini dapat menyebabkan diskriminasi sosial dan pengucilan dari masyarakat setempat. Diskriminasi terhadap pekerja migran selama pandemi COVID-19 sangat tidak adil dan tidak manusiawi. Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di bawah hukum dan tidak boleh didiskriminasi karena ras, agama, atau asal usul etnis. Untuk mengatasi masalah ini, perlu ada upaya bersama dari pemerintah, masyarakat, dan pihak terkait lainnya untuk memperjuangkan hak dan kesejahteraan pekerja migran, serta mempromosikan kesadaran dan pemahaman tentang hak asasi manusia dan keragaman budaya.
Kebijakan government-to-government (G2G) adalah kebijakan di mana pemerintah Indonesia melakukan kerja sama dengan pemerintah negara lain untuk mengatasi masalah tertentu atau untuk memperkuat hubungan bilateral antara kedua negara tersebut. Pemerintah Indonesia melakukan kerja sama dengan pemerintah negara-negara tujuan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) untuk melindungi hak-hak pekerja migran Indonesia. Program ini meliputi perlindungan hukum, pendidikan, dan kesehatan bagi pekerja migran. Kebijakan ini merupakan salah satu kebijakan yang dilakusamakan oleh pemerintah dalam menanggulangi eskalasi risiko yang dirasakan oleh pekerja migran di luar negeri. Kebijakan government-to-government (G2G) dapat menjadi alat yang efektif dalam memperkuat hubungan antara Indonesia dan negara lain, serta untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Dalam pelaksanaannya, program G2G perlu dilakukan dengan transparan dan akuntabel, serta dengan memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Keberhasilan kebijakan ini ditentukan dalam banyak indikator yang masih terasa bersifat abu-abu. Sebab, walaupun kebijakan ini telah diresmikan masih saja muncul problem yang dirasakan oleh para pekerja migran Indonesia. Solusi yang ampuh untuk dilakukan oleh pemerintah adalah memperkuat lembaga investigasi dan perlindungan pekerja di luar negeri. Pembentukan tim ini menjadikan penanganan problem pekerja migran menjadi komprehensif serta terarah. Masih diperlukan upaya yang lebih besar dan komprehensif untuk melindungi tenaga kerja Indonesia dari kekerasan dan penyalahgunaan. Selain itu, menjadi penting untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang hak-hak pekerja dan bahaya kekerasan di tempat kerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!