Mohon tunggu...
Sutriyono Robert
Sutriyono Robert Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis lepas, menyukai seni budaya lokal.

Menikmati senja, alam, bebunyian.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Riwayat Jalan Puisi

19 Oktober 2020   08:15 Diperbarui: 19 Oktober 2020   08:19 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerita lima paragraf

Tak ada anak-anak yang mencintai jendela-jendela rumah mereka sedemikian rupa seperti anak-anak di Jalan Puisi di Kampung Warnasari. Di jalan sepanjang tak lebih dari 200 meter itu ada lima rumah. Masing-masing rumah ada yang punya anak satu, dua, tiga, dan paling banyak empat. Setiap kelompok usia membangun pertemanan yang akrab. Mereka bermain seperti kelompok anak pada umumnya; kelereng, gelang karet, dakon, bola bekel, lompat tali, dan yang paling utama adalah menulis dan membaca puisi. Akan hal yang terakhir itu, ceritanya begini; Suatu senja yang sunyi datang seorang mahasiswi. Katanya ia tertarik dengan Kampung Warnasari. Bertahun-tahun, di kampung ini hanya ada lima rumah dari satu trah. Anak-anak mereka pergi merantau. Hanya satu saja yang kembali bersama cucu menunggui kakek-nenek saat mereka semakin renta. Yang lain berkumpul ketika jiwa renta itu dipanggil Yang Empunya. Anak-anak pulang hanya untuk menguburkan orangtua dan berduka sepantasnya.

Setiap senja yang sunyi, Tantrini, nama Sang Mahasiswi, berjalan dari depan rumah satu ke rumah yang lain. Begitu caranya meneliti. Ia mengamati atap-atap rumah, langit-langit, pohon-pohon mangga, bunga-bunga tua, celorot burung yang terbayang di jendela kaca, kelebat sepi yang tertangkap senja. Sesudah itu ia menulis puisi dengan puluhan kata-kata. Bila gerimis datang, buru-buru ia menulis huruf dan angka pada debu-debu yang menempel di setiap kaca jendela, dan membiarkan basahnya menghapus jejak jemari selamanya. "Lalu semua kisah yang ditulisnya lenyap, menghilang, tak berbekas; menjelma puisi yang tak terbaca."(Tantrini Andang)

Malamnya, Sang Mahasiswi membaca puisi. Cucu-cucu kakek-nenek lima rumah itu berkumpul mengitari. Mereka tertawa, karena puisi adalah lucu bagi anak belia. Begitu terjadi setiap hari. Lima, enam hari, satu minggu, dua minggu, hingga lima minggu berjalan. Cucu-cucu itu menjadi begitu akrab dengan kata dan bunyi. Tiga hari terkahir kemudian, angin berembus dari barat ke arah timur dengan cepat. Cucu-cucu belia terdiam tercekat. Mereka hanya merasa akan ada hal terjadi pada sesuau yang selama ini dekat. Setelahnya Sang Mahasiswi kekasih hati, menghilang tanpa meninggalkan pesan. Hembusan angin tiga hari membawa Sang Mahasiswi pergi entah ke mana. "Serupa hujan yang membasuh sajak-sajak di kaca jendela" (TA). Ada, lalu tiada.

Berminggu-minggu para cucu berduka. Mereka kehilangan jantung hatinya. Akan tetapi, perlahan-lahan, mereka melihat pelangi di jendela, burung-burung mengepak sayap pertamanya dari kaca, puluhan malaekat bermain bebunyian pada gerimis yang menepuk genting. Sejak saat itulah cucu-cucu bermain kelereng sambil mencipta puisi, mengejar ayam sembari mencipta bunyi. Ketika ibu guru di sekolah menugaskan murid-murid mengarang, mereka cukup memandangi burung-burung yang terbang, bunga-bunga mengembang, rumput, aroma tanah basah, dan angin yang mendesah. Ketika kakek-nenek tiada, ayah-ibu mereka menjadi renta, dan mereka beranjak dewasa, mereka berkumpul di atas tikar di bawah purnama. Mereka lantas membangun kesepakatan bersama; jalan di depan rumah mereka menjadi Jalan Puisi namanya. Bukan nama pahlawan, yang di balik kesan gagah menyimpan kekerasan. Juga bukan jalan bunga-bunga, karena puisi tidak hanya butuh bunga, tetapi air, angin, tanah lembab, dan aroma.

Semua cerita itu benar adanya karena aku yang menulis ini merupakan bagian dari cucu-cucu yang tinggal di dalamnya. Rumahku di Jalan Puisi nomor lima. Bila jiwamu letih, lesu dan berbeban berat, datanglah ke rumahku, aku akan menulis puisi untukmu. Karena ketika engkau baru mengetuk jendela kaca saja, sebuah puisi akan terlontar dari dalamnya.

Sutriyono Robert

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun