Mohon tunggu...
Sutriyono Robert
Sutriyono Robert Mohon Tunggu... -

Penulis lepas di Purwokerto. Mendampingi anak-anak muda belajar menulis. Selain itu juga mendongeng.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Kisah Pohon Jambu

23 September 2013   14:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:30 946
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Di rumah masa kecil kami ada pohon jambu biji. Pohon itu berada di sisi kanan rumah. Tingginya mencapai tinggi atap rumah jawa tempat kami tinggal, sekitar empat meter. Tetapi tentu saja batang pohon jambu biji itu menjulur kesana kemari. Jadi tidak hanya meninggi tetapi lebih banyak yang mendatar.

Pohon itu menjadi pohon favorit bagi kami sebagai anak-anak. Buahnya yang manis menjadi incaran. Kadang yang kami cari justru buah yang setengah matang. Masih berwarna hijau tetapi sudah ada nuansa kuning. Bila digigit masih sedikit keras tetapi sudah ada rasa manis. Kadang juga kami memakan sisa-sisa kelelawar semalam. Atau pernah juga tanpa kami tahu, begitu kami gigit bibir langsung gatal. Ternyata ada ulat bulu di situ.

Batang dan cabangnya yang liat memberi kesempatan kami memanjat hingga ujung-ujung terjauh. Beberapa anak menggunakan batang berukuran lengan tangan dewasa yang mendatar untuk menggantungkan badan. Bukan dengan kaki di bawah, tetapi dengan kepala di bawah. Jadi yang digunakan untuk tumpu gantungan adalah bagian belakang lutut.

Waktu itu belum beredar pengetahuan yang mengatakan jambu biji baik untuk meningkatkan trombosit. Kami menyantap jambu biji secara alami tanpa ada pretensi demi kenaikan trombosit atau demi kepentingan lainnya. Bagi kami anak-anak, jambu biji itu sekaligus juga sarana untuk mengumpulkan teman-teman. Terutama ketika ada begitu banyak yang masak di pohon.

Ketika pengetahuan saya bertambah, saya kemudian mengenal apa yang dinamakan daya dukung lingkungan. Di berbagai tempat dimana penduduk semakin padat, daya dukung lingkungan menurun. Sebagai contoh, sekarang semakin sedikit rumah yang memiliki pohon jambu biji seperti pohon masa kecil kami. Bila ada, jenis pohonnya berbeda. Pohon yang tumbuh di samping rumah kami adalah pohon lokal. Rasa jambunya pun jauh lebih manis dan segar dibanding jambu biji yang ada di pasar sekarang.

Ketika daya dukung lingkungan menurun, masyarakat harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan jambu biji. Kios-kios buah bermunculan dimana-mana. Sebagian buah-buah itu didatangkan dari luar negeri. Sebagian lain dibeli dari kebun-kebun dari lain provinsi.

Keluarga harus membeli peralatan kebugaran yang lantas dipasang di rumah mereka. Padahal keberadaan pohon jambu biji di rumah masa kecil kami tidak beda dengan alat-alat kebugaran itu. Anak-anak terlatih otot tangan dan kaki serta keseimbangannya ketika terbiasa memanjat pohon. Juga ketika bergelantungan seperti kelelawar, peredaran darah ke otak menjadi lebih lancar.

Anak-anak kota yang tidak pernah mengenal sawah, sekarang harus membayar beratus-ratus ribu untuk sekedar menanam padi di tempat-tempat yang menamakan diri sekolah alam. Padahal anak-anak desa bisa bermain di sawah seharian tanpa mengeluarkan uang sepeserpun.

Para penjelajah alam dan pendaki gunung paling paham soal daya dukung lingkungan ini. Hal tersebut terkait dengan kemampuan survival mereka di alam.

Akan tetapi penurunan daya dukung lingkungan ini bukan saja sebatas masalah fisik lahan, tetapi juga soal mentalitas. Ketika lahan menyempit seturut meningkatnya pemukiman, masyarakat terlambat berpikir bagaimana secara kreatif memanfaatkan sisa lahan yang ada untuk tetap bisa membuat lingkungan memiliki daya dukung memadai.

Seorang rekan penggiat LSM lingkungan dari Jogja bercerita bagaimana ia membuat terhenyak masyarakat desa yang merasa dalam tekanan kemiskinan. Ia mengajak masyarakat menghitung secara rinci komponen biaya konsumsi rumah tangga mereka. Yang biasanya kemudian ditemukan adalah, ternyata masyarakat desa harus membeli berbagai kebutuhan dapur seperti cabai, sayur, bahkan juga kelapa di pasar kota. Rekan LSM tadi lantas mengajak masyarakat menemukan mana sayur dan kebutuhan lain yang bisa diusahakan dengan menanam sendiri di pekarangan mereka. Atau paling tidak mengupayakan agar tidak membeli di pasar kota tetapi di pasar lokal desa sehingga uang mereka tidak keluar jauh kemana-mana.

Kampanye konsumsi besar-besaran oleh media televisi tampaknya telah memetik hasilnya. Rekan LSM tadi bercerita, demi mendapatkan daging, ada orang desa menjual ayamnya ke pasar. Suatu saat mungkin jugaterjadi, orang menjual kelapa lantas membeli dan membawa pulang santan instan hasil olahan pabrik.

Nah lo, mari coba menelisik ulang. Apa-apa yang menjadi ironi di sekitar rumah kita. Atau bahkan di dalam rumah kita sendiri. Membabat bunga-bunga di pot demi “efektivitas ruangan” tetapi lantas membeli pengharum ruangan? Menutup rapat jendela-jendela sarana sirkulasi udara bersih, bersamaan dengan itu membeli dan memasang ac? …

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun