Merefleksi kembali pemikiran Jean-Paul Sartre (bukan Sutri) tentang eksistensialisme. Menurutnya manusia itu kontingensi (ketidakpastian, selalu berubah-ubah dalam hidup) artinya sifat mutlak manusia adalah bebas sebebas-bebasnya. Eksistensinya dapat ia pilih secara bebas.Â
Sartre memposisikan dirinya sebagai subjek bukan objek. Ia tidak ingin menjadi objek dari orang lain karena bagianya orang lain adalah neraka. Celahnya, manusia tidak dapat menghidar dari faktisitas-faktisitas yang akan menghalangi kebebasan. Sikap kita adalah menidak atau melampauinya.
Ketidakpastian atau istilah sederhanya tergantung situasi ini juga mempengaruhi dunia asmara Sartre. Ia dikenal sebagai playboy. Sifat itu bermula ketika Sartre menyadari bahwa dirinya "jelek".Â
Matanya yang "juling" serta wajahnya yang mirip "kodok" membuatnya tidak pasrah dengan keadaan.. Ia bergerak melampaui faktisitas, bahkan motif Sartre ingin mengusai filsafat hanya untuk mendapatkan gadis jelita pada zamannya.Â
Tidak heran karier cintanya seringkali dijadikan telaah mendalam mengenai filsafat eksistensilisme. Banyak kasus bahwa filosof asal Prancis itu sering terlibat cinta segitiga.Â
Bahkan ia pernah menjalin kasih dengan murid-muridnya saat ia menjadi guru SMA. Baginya cinta tidaklah terikat dengan janji melainkan bebas menentukan bercinta dengan siapa pun dan kapan pun.
Dalam dunia pendidikan, Sartre juga memperaktekkan kebebasan. Saat masuk kelas filsafat khusus laki-laki ia memperbolehkan siswanya merokok di dalam kelas. Kehadiran Sartre membuat gebrakan baru membuka sekat antara guru dan murid.Â
Menurutnya sekolah adalah tempat diskusi adu argument. Semua buku-buku untuk dibaca di rumah bukan untuk dibawa ke dalam kelas. Siswa dapat menentukan eksistensinya tanpa dibantu oleh aturan dan buku-buku mata pelajaran. Bahkan di luar kelas Sartre tidak keberatan diajak nongkrong dan diskusi oleh murid-muridnya.
Keterombang-ambingan Sartre juga dipraktekkan dalam sikap politisnya. Ia juga pernah didemo oleh para veteran perang karena menolak perang kolonial saat Prancis melakukan aksi polisional ke Aljazair.Â
Sikap itu dianggap pengecut dan tidak patriotik. Walau pun demikian jasanya untuk publik Prancis bahkan dunia patut diacungi jempol sehingga di tahun 2005 dunia memperingati 100 tahun kelahirannya. Tepat saat ini 15 April 1980 di umur 74 filosof Prancis yang unik dan otentik itu berpulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H