Mohon tunggu...
Sutrisno Budiharto
Sutrisno Budiharto Mohon Tunggu... lainnya -

Membaca dunia, lalu menulis dan melukiskan hidup:\r\n\r\nsutrisno.budiharto@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

KPK Bisa Jemput Paksa Anas dengan Densus 88

10 Januari 2014   03:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:58 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memeriksa mantan Ketua Partai Demokrat, Anas Urbaningrum dalam kasus Hambalang terkesan alot hingga menimbulkan kegaduhan politik. Bahkan, seolah ada “perseteruan” antara kubu Anas Urbaningrum dengan KPK. Kegaduhan politik ini menguat setelah adanya sikap pembangkangan dari Anas yang enggan memenuhi panggilan KPK dan adanya pernyataan-pernyataan dari para loyalisnya yang terkesan ingin memojokkan KPK.

Seandainya Saya anggota KPK, tidak akan bersikap bertele-tele. Sebab, kegaduhan politik dalam kasus Hambalang itu dapat mengurangi kewibawaan KPK sebagai lembaga negara pemberantas korupsi. Kalau surat pemanggilan terhadap Anas memang tidak pernah ditanggapi, maka Saya akan bertindak tegas, yakni dengan minta bantuan kepada Kapolri agar bersedia memperbantukan Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti-teror untuk menjemput paksa Anas Urbaningrum.

Dengan cara begitu, proses pemeriksaan kasus Hambalang setidaknya akan segera cepat diselesaikan. Soal Anas terbukti bersalah atau tidak, biar ditentukan dalam pengadilan. Yang  jelas, penetapan Anas sebagai tersangka setidak sudah dilandasi alat bukti yang kuat, Tapi kenapa harus melibatkan Densus 88 untuk menjemput paksa Anas?

Korupsi Lebih Berbahaya dari Terorisme

Menurut Saya, KPK pantas melibatkan Densus 88 dalam pemberantasan korupsi. Karena, kejahatan korupsi bukan termasuk kejahatan biasa, tapi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Artinya, koruptor memang bukan penjahat biasa dan pantas diperlakukan sama dengan para teroris. Bahkan, dalam acara diskusi di Kementerian Hukum dan HAM Jakarta, Agustus 2013 lalu (Kompas.com), juru bicara KPK, Johan Budi SP, juga sudah menegaskan bahwa korupsi lebih berbahaya dibandingkan terorisme. Pakar Hukum Universitas Indonesia, Gandjar Laksamana, pernah menegaskan bahwa kejahatan korupsi termasuk dalam kejahatan luar biasa. Menurut Gandjar Laksamana, jika kita melihat UU yang disahkan DPR, kasus korupsi perlu penanganan yang tidak biasa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun