[caption id="" align="aligncenter" width="780" caption="sumber foto: kompas.com/kontan"][/caption]
Setelah “dagelan politik” soal kenaikan harga elpiji 12 kilogram dijadikan bahan “banyolan politik” di tengah masyarakat, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan pernyataan baru cukup populis, yakni berjanji akan meningkatkan penyaluran bantuan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk warga miskin. Penyaluran bantuan iuaran JKN bagi warga miskisn yang dilabeli Penerima Bantuan Iuran (PBI) ini dipaparkan SBY dalam rapat terbatas tentang implementasi JKN yang digelar Kantor Presiden Rabu 8 Januari 2014. Janji SBY ini tentunya dapat menebar persona tersendiri karena dilakukan menjelang Pemilu 2014. Namun, mungkinkah janji peningkatan PBI itu akan mampu membuat publik terpesona terhadap SBY? Jawabnya, pelaksanaan JKN dan penyaluran PBI itu belum tentu membuat masyarakat terpesona terhadap SBY. Sebab, pelaksanaan JKN dan PBI dimungkinkan akan menimbulkan kekisruhan di tengah masyarkat. Kenapa demikian?
Dari JKN, Jaminan Kesehatan Pejabat dan “Presiden Labil”
Menjelang pelaksanaan JKN, SBY sudah menunjukkan kebijakan aneh dengan mengeluarkan dua peraturan presiden, yakni; Peraturan Presiden Nomor.105/2013 tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Menteri dan Pejabat Tertentu dan Peraturan Presiden Nomor.106/2013 tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi pimpinan lembaga negara. Dalam Perpres Nomor. 105/2013 dan Perpres Nomor. 106/2013 yang ditandatangani SBY pada 16 Desember 2013 itu juga terdapat pelayanan kesehatan rumah sakit di luar negeri dengan mekanisme penggantian biaya dari APBN dan APBD. Bagi menteri dan pejabat lembaga tinggi Negara diberikan tambahan biaya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sedangkan untuk tambahan biaya bagi Pejabat Tertentu di lingkungan Pemerintahan Daerah dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). [seskab.go.id].
Sangat wajar kalau kedua Perpres itu akhirnya menimbulkan protes di tengah masyarakat karena dianggap “melukai” hati rakyat. Terlebih, jaminan kesehatan para menteri dan pejabat lembaga tinggi negera tersebut memberikan fasilitas pengobatan hingga keluar negeri dan ada biaya yang dapat diambil dari APBN maupun APBD. Setelah menimbulkan reaksi protes dari masyarakat, kedua Perpres tentang jaminan kesehatan bagi para menteri dan pejabat lembaga tinggi tersebut akhirnya dicabut. Menurut SBY, kedua Perpres tersebut dinilai sudah tidak diperlukan lagi menyusul diberlakukannya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) [presiden.go.id]
Belakangan, kebijakan aneh dari SBY tersebut justru mendapat sindiran dari Anas Urbaningrum karena dianggap seperti “opera sabun” untuk mendongkrak elektabilitas jelang Pemilu 2014i. "Pembatalan kenaikan harga elpiji dan Perpres 105 n 106 --dua drama-- diharapkan bisa mjd dongkrak elektabilitas. #jelangpemilu" papar Anas Urbaningrum melalui twitter @anasurbaningrum (4 Januari 2014). Benar-tidaknya sindiran Anas soal adanya “opera sabun” dalam pencabutan Perpres Nomor. 105/2013 dan Perpres Nomor. 106/2013 tersebut, mungkin hanya SBY yang tahu pasti. Yang jelas, adanya penetapan Perpres Nomor. 105/2013 - Perpres Nomor. 106/2013 lalu pencabutan kedua Perpres itu dengan cepat menunjukkan adanya sikap inkonsistensi dari SBY sebagai presiden. Dalam bahasa gaul anak baru gedhe (ABG), sikap inkonsistensi SBY itu dapat disebut sebagai ‘Presiden Labil’ karena terlalu sembrono ketika menetapkan Perpres Nomor. 105/2013 dan Perpres Nomor. 106/2013 dan akhirnya mencabut kembali dalam tempo sekitar 15 hari dari penetapan.
Antara Jaminan Kesehatan dan “Kekisruhan’ Data Warga Miskin
Setelah heboh Perpres Nomor. 105/2013 dan Perpres Nomor. 106/2013 mereda, pada Rabu 8 Januari 2013, SBY ganti menjanjikan akan memberikan peningkatan bantuan iuran kepada masyarakat miskin dalam menjalankan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Bantuan yang dilabeli Penerima Bantuan Iuran (PBI) ini bernilai Rp 19.225 per orang. Jumlah penerima PBI tahun ini sebanyak 86,4 juta, sehingga total anggaran Negara yang dibutuhkan mencapai Rp19,6 triliun. “Pemerintah berpendapat bahwa secara bertahap PBI ini, bantuan negara dalam sistem jaminan kesehatan nasional ini akan ditingkatkan," jelas SBY seperti dilansir Kompas.com.
Bagi warga miskin, janji SBY dalam peningkatan PBI tersebut jelas menjadi kabar baik karena dapat membantu mereka meringankan beban hidup yang kini terasa makin berat. Namun, kalau melihat pengalaman pelaksankan program penanggulangan kemiskinan (Pronankis) di Indonesia pada masa pemerintahan pemerintahan SBY selama 10 tahun terakhir (dua periode jabatan) ini terdapat kejanggalan karena data warga miskin yang dipakai dasar pelaksanaan Pronankis sering memiliki akuarsi yang lemah.
Berdasar hasil penelitian penulis di berbagai daerah, lemahnya akurasi data kemiskinan itu terdapat dalam program pembagian beras miskin (Raskin), Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), termasuk data penerima Jamkesmas. Warga yang seharusnya dipandang pantas mendapat bantuan justru tidak terdaftar sebagai penerima manfaat Pronankis. Sebaliknya, warga yang dianggap lebih mampu justru terdaftar sebagai penerima manfaat Pronankis. Karuan saja, lemahnya akurasi data warga miskin penerima manfaat Pronankis tersebut, membuat repot para pengurus RT/RW, perangkat desa dan kepala desa. Sebab, hal itu kerap menimbulkan protes dari masyarakat karena dianggap ada ketidakadilan dalam pelaksanaan program Pronankis.
Kisruh data warga miskin penerima manfaat Pronankis sudah terjadi saat pelaksanaan program BLT dalam pemerintahan SBY periode pertama (2004-2009). Namun kisruh data serupa tetap terjadi lagi dalam pembagian BLSM pada pemerintahan SBY periode kedua (2009-2014) ini. Dari kasus BLSM itu, pemerintahan pimpinan SBY terkesan tidak sungguh-sungguh berupaya melakukan perbaikan data untuk menyusun data penerima manfaat Pronankis yang benar-benar akurat sesuai dengan kondisi lapangan.
Penyebab Kisruh Data Kemiskinan dan ‘Gombalisasi’ di Indonesia
Penulis pernah menelusuri soal kisruh data warga miskin penerima manfaat Pronankis ini melalui penelitian di berbagai daerah. Para perangkat desa dan pejabat kabupaten/kota mengaku tidak tahu-menahu karena data warga miskin penerima Pronankis sudah ada dari atas (ditentukan dari pemerintah pusat). Dalam penyaluran BLSM di Grobogan misalnya, ada inkonsistensi dalam penentuan data penerima BLSM. Berdasar ketentuan pemerintah pusat, data penerima BLSM mengacu pada data PPLS 2011 dan penerima BLSM Grobogan hanya dijatah sebanyak 119.256 KK. Namun data penerima BLSM dari pemerintah pusat itu tidak sesuai dengan data PPLS yang dimiliki Pemerintah Kabupaten Grobogan yang mencapai lebih dari 122.000 orang. Ketika perbedaan data ditanyakan ke pemerintah pusat tidak ada jawaban yang jelas kepada aparatur pemerintah daerah. Inkonsistensi penggunaan data penerima BLSM serupa juga terjadi di daerah lain.
Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) di daerah mengaku tidak terkait sama sekali dalam penetapan penerima BLSM, seperti yang ditegaskan Kepala BPS Kabupaten Pati, Sri Wiyadi. Pejabat BPS daerah itu mengakui bahwa data penerima BLSM memang berasal dari data PPLS 2011 yang didata BPS. Namun pihak yang menetapkan penerima BLSM adalah Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) di Jakarta [“BPS Tidak Terkait dengan Data Penerima BLSM”; Radio PAS-FM Pati - 24 Juni 2013]. Dalam dialog soal BLSM di DPRD Blora, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Blora, Fenny Susanto, juga mengakui bahwa data yang dipakai dasar dalam pembagian BLSM 2013 adalah data PPLS tahun 2011. Namun dalam penyaluran BLSM 2013 data PPLS 2011 tersebut belum di-update. "Pemerintah pusat tidak memerintahkan memperbarui data atau instruksi apapun," kata Fenny Susanto. [BPS Blora Akui Data BLSM Produk 2011; Wawasan edisi Rabu 17 Juli 2013].
Dari kasus BLSM tersebut dapat diketahui dengan jelas, betapa lemahnya upaya para penyelanggara negara dalam menyusun data warga miskin yang benar-benar akurat. Meski tanpa ada perintah updatye data PPLS 2011 kepada BPS daerah, pemerintah pusat tetap melakukan pembagian BLSM pada 2013. Tak heran, jika penggunaan data kadaluarsa dalam penyaluran BLSM tersebut akhirnya menimbulkan protes di berbagai daerah. Di antara aparatur pemerintah yang memiliki gelar akademik rangkap-rangkap sebenarnya ada pemahaman bahwa akurasi data adalah dasar penting untuk mencapai keberhasilan program pembangunan. Tapi anehnya, kisruh data warga miskin tetap saja terulang.
Terus berulangnya kisruh data warga miskin yang dipakai dasar pelaksanaan Pronankis tersebut dapat menimbulkan kesan seolah terjadi pembiaran adanya kebodohan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Jangan-jangan memang terjadi ‘gombalisasi’ atau ada kesengajaan menggunakan data yang tidak akurat dalam pelaksanaan Pronankis? Sebab, ‘gombalisasi’ program pembangunan dengan penggunaan data yang tidak akurat tersebut memang dapat membuka peluang terjadinya pnyelewengan atau politisasi anggaran negara. Karena itu, tidak berlebihan kiranya jika dalam distribusi bantuan iuran PBI bagi warga miskin dalam JKN nanti patut diwaspadai kemungkinan timbulnya kekisruhan data yang dapat memicu timbulnya aksi protes di tengah masyarakat.
Tanda Kekisruhan JKN Sudah Muncul, Perlu Transparansi Data
Yang jelas, dalam pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesmas) sendiri juga menimbulkan banyak protes akibat lemahnya akurasi data warga miskin penerima manfaat Pronankis. Warga yang dinilai pantas mendapat Jamkesmas justru tidak terdaftar, sebaliknya warga yang dianggap lebih mampu justru terdaftar sebagai penerima manfaat jamkesmas. Untungnya, warga miskin yang tidak mendapatkan jatah Jamkesmas dapat dilayani melalui program Jamkesda yang diselenggarakan pemerintah daerah. Tapi persoalannya adalah, apakah dalam pelaksanaan JKN nanti warga penerima manfaat Jamkesda dan Jamkesmas akan sama-sama dijamin bebas membayar iuram atau dapat menikmati bantuan PBI?Sampai sejauh ini belum ada kepastian informasi karena pelaksanaan JKN dinilai sangat minim sosialisasi. Yang pasti, di antara warga kini sudah ada yang enggan membayar iuran JKN karena merasa keberatan - seperti diungkapkan kalangan petani melalui Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih [shnews.co] Karena itu, SBY punya kewajiban mempublikasikan data warga miskin secara transparan terkait pelaksanaan JKN dan penyaluran PBI. Apa kriteria dan indikator warga miskin yang akan dibebaskan membayar iuran JKN, perlu dibuka dengan jelas oleh pemerintahan SBY. Kalau tidak ada kejelasan data dan transparansi data, jangan-jangan akan muncul banyak aksi ‘boikot’ membayar JKN seperti yang dilakukan kalangan petani.
Pendek kata, Indonesia ini tidak membutuhkan 'presiden labil' yang suka membuat kebijakan aneh, seperti yang terlihat dalam penetapan dan pencabutan Perpres 105 dan Perpres 106. Sebaliknya, Indonesia merindukan pemimpin yang tegas dalam hal apapun, termasuk penyusunan data yang akurat. Kalau dalam penggunaan data saja tidak akurat, bagaimana mungkin kebijakan pembangunan akan mencapai sasaran dan target yang tepat?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H