Banjir yang rutin melanda Jakarta tampaknya dapat membuat orang pintar menjadi bodoh. Jokowi yang baru saja menjabat Gubernur DKI Jakarta sering ‘ditembak’ oleh pernyataan-pernyataan yang menempatkannya sebagai ‘terdakwa’ paling bersalah. Tak diduga, Amien Rais, juga tampak menjadi ‘bodoh’ karena ikut-ikutan menyudutkan Jokowi. Padahal, persoalan banjir Jakarta sangat kompleks, bukan hanya terkait erat dengan ruwetnya politik dan anggaran dalam pengelolaan negara saja, tapi juga sangat dipengaruhii oleh akumulasi kerusakan ekologis yang terjadi sejak puluhan tahun lalu.
Tulisan ini tidak punya maksud untuk membela Jokowi yang kini sedang digadang-gadang menjadi Capres idaman di tengah masyarakat non-partisan. Tulisan ini hanya bertujuan untuk meluruskan pemahaman tentang persoalan banjir di Jakarta.
Kalau dirunut dari akar masalahnya, timbulnya banjir di Jakarta itu adalah akibat gagalnya pengendalian air (baik itu air hujan di Jakarta atau air kiriman dari daerah hulu). Sedang gagalnya pengendalian air tersebut dipengaruhi oleh beberapa sebab, antara lain adalah;
- Adanya akumulasi kerusakan ekologis yang terjadi sejak puluhan tahun sebelumnya.
- Minimnya saluran pengendali air dan daerah resapan.
- Adanya inkonsistensi aparatur pemerintah pusat dan daerah dalam penataan kota dan pencegahan banjir.
- Lemahnya kultur masyarakat dalam pencegahan banjir.
Jadi, kurang tepat kalau Amien Rais ikut-ikutan hanya menyudutkan Jokowi. Sebelum Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jakarta sudah sering banjir. Kalau mau jujur, dalam hal ini justru Presiden SBY dan para presiden sebelumnya yang paling bersalah karena membiarkan terjadinya akumulasi kerusakan ekologis di Jakarta dan sekitarnya. Para para menteri juga punya salah. Demikian pula para kepala daerah di sekitar DKI Jakarta, para pengusaha yang terlalu berlebihan mengeksploitasi alam, para pelaksana proyek pembangunan saluran air perkotaan yang asal-asalan, serta masyarakat yang biasa buang sampah sembarangan.
Mereka semua punya salah karena tidak menunjukkan sikap yang cinta terhadap alam lingkungan di sekitarnya sendiri. Dengan kata lain, para penentu kebijakan di Jakarta dan sekitar hanya mengedepankan eksploitasi alam sebesar-besarnya tanpa memperhitungkan kelestarian alam dan manajemen pengendalian air dengan baik. Kesannya, hanya ingin cari untung sendiri-sendiri tapi tanpa mau merawat alam dengan bijaksana. Karena itu, untuk mengatasi persoalan banjir di Jakarta perlu kerja sinergis antar daerah dan perlu konsistensi dalam penegakan hukum lingkungan maupun politik anggaran yang pro lingkungan. Kalau hanya mengadalkan pada Jokowi yang hanya punya masa jabatan 5 tahun, mana mungkin dapat mengatasi persoalan yang denikian kompleks? Hanya orang bodoh kalau cuma mengharapkan peran seorang Jokowi untuk menyelamatkan Jakarta dari ancaman banjir. Tapi ternyata, banyak orang-orang pintar yang menjadi bodoh dalam memahami persoalan banjir di Jakarta.
Antara Jakarta dan Kehancuran Ekologis
Di era digital ini memang banyak orang pintar yang mampu menciptakan aneka peralatan baru berteknologi tinggi. Sayangnya, tingginya teknologi itu kadang membuat para manusia menjadi bodoh karena lupa tentang pentingnya merawat alam. Dulu sebelum ada teknologi mesin, alam masih bisa merasakan kedamaian. Ketika jumlah penduduk makin berkembang dan tantangan persaingan semakin keras, penggunaan teknologi akhirnya lebih ditekankan untuk mengeksploitasi alam. Dan setelah James Watt (19 Januari 1736 – 19 Agustus 1819) menemukan mesin uap, peradaban manusia megalami perubahan besar menyusul menggelindingnya revolusi industri yang ditandai dengan bermunculannya pusat-pusat industri. Sejak itulah, dunia diwarnai eksploitasi alam besar-besaran secara membabi buta. Dampaknya, tanpa disadari manusia mulai menanamkan bibit kehancuran bagi generasinya yang akan datang (Lester R Brown; Yayasan Obor – 1990).
Bibit kehancuran lingkungan yang mulai ditanam sejak revolusi industri pasca penemuan mesin uap tersebut, rupanya sampai kini belum bisa dihentikan. Pesatnya perkembangan teknologi di era digital dewasa ini setidaknya punya andil tak sedikit dalam memperparah tingkat kerusakan alam. Sedang bentuk kerusakan alam kini makin beragam, bukan hanya terbatas pada kerusakan hutan akibat penebangan pohon besar-besaran dengan mesin-mesin canggih atau kerusakan alam akibat pencemaran (polusi), tapi tingkat kerusakan alam masa kini sudah mencapai pada lapisan ozon dan degradasi lingkungan secara umum. Jakarta dan sekitarnya juga tidak luput dari ancaman kerusakan alam tersebut.
Celakanya, banyaknya mesin industri dan kendaraan bermotor di berbagai belahan dunia (termasuk Jakarta) dinilai memiliki peran besar dalam peningkatan pembakaran gas karbon dioksida (CO2) dan menjadi salah faktor penyebab terjadinya pemanasan global (perubahan iklim). Sedang dampak buruk dari pemanasan global itu akhirnya dapat mendorong timbulnya banyak bencana alam – salah satunya adalah banjir yang sering melanda Jakarta.
Akhir kata, rasanya kurang bijaksana kalau persoalan banjir di Jakarta hanya ditimpakan kepada seorang Jokowi. Semua aparatur pemerintah di Jakarta dan sekitarnya (termasuk pengusaha dan warganya) harus mau ikut bertanggungjawab dalam menyelamatkan alam dan menata lingkungan perkotaan. Tujuannya, agar pengendalian air di Jakarta dan sekitarnya pada musim penghujan dapat segera diperbaiki. Kalau para pemangku kepetingan di Jakarta dan sekitarnya tak mau bertanggung jawab melakukan penyelamatan, ya jangan menyesal jika suatu saat nanti akan ada usulan untuk memindah Ibu Kota Republik Indonesia keluar dari Jakarta. [@SutBudiharto]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H