Mohon tunggu...
Dudih Sutrisman
Dudih Sutrisman Mohon Tunggu... Administrasi - Pegiat Bidang Pendidikan, Sosial, Politik, Budaya, dan Sejarah

Cogito Ergo Sum

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tri Tangtu di Buana: Konsep Pemisahan Kekuasaan di Kerajaan Galuh yang Melampaui Zaman

12 September 2024   22:51 Diperbarui: 13 September 2024   08:26 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konsep pemisahan kekuasaan kerap diasosiasikan dengan teori Trias Politica yang dicetuskan Montesquieu pada abad ke-18. Teori ini menekankan pentingnya pembagian kekuasaan ke dalam tiga ranah: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun, jauh sebelum Montesquieu, peradaban masyarakat Sunda di Nusantara telah memiliki konsep yang sejalan dengan ini---Tri Tangtu di Buana, sebuah sistem yang diterapkan dalam tata pemerintahan Kerajaan Galuh.

Tri Tangtu di Buana adalah sistem pengaturan kekuasaan yang membagi peran dalam masyarakat Sunda menjadi tiga elemen kunci: Ratu, Resi, dan Rama. Masing-masing elemen ini memegang fungsi yang saling melengkapi dalam menciptakan keseimbangan pemerintahan. Ratu (raja) memegang kekuasaan eksekutif, Resi (pendeta atau pemuka agama) memegang otoritas moral dan spiritual, dan Rama (tokoh adat) mengatur kehidupan sosial masyarakat, yang dalam konteks modern bisa disamakan dengan kekuasaan legislatif.

Pembagian kekuasaan ini mencerminkan kedewasaan politik peradaban Sunda. Melalui Tri Tangtu di Buana, Kerajaan Galuh berhasil menciptakan struktur pemerintahan yang harmonis, di mana masing-masing pihak memiliki peran yang jelas dalam menjaga kestabilan negara. Ratu bertanggung jawab untuk menjalankan pemerintahan dan menjaga ketertiban, Resi menjaga moralitas dan spiritualitas, sementara Rama menjadi penengah dalam persoalan sosial dan hukum, memastikan bahwa norma-norma masyarakat dijalankan dengan adil.

Yang menarik adalah bahwa konsep ini tidak hanya berfungsi sebagai teori, tetapi juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Kerajaan Galuh, setiap keputusan besar harus mendapatkan persetujuan dari ketiga elemen tersebut, sehingga menciptakan keseimbangan yang menjauhkan negara dari potensi tirani atau pemerintahan yang otoriter.

Jika dibandingkan dengan Trias Politica Montesquieu, Tri Tangtu di Buana bahkan bisa dikatakan lebih mendalam karena tidak hanya membagi kekuasaan secara politis, tetapi juga memasukkan unsur spiritual dan sosial sebagai fondasi pemerintahan. Dalam konteks Trias Politica, pemisahan kekuasaan murni dilihat dari perspektif institusional---membagi kekuasaan agar tidak terpusat pada satu individu atau kelompok. Sedangkan dalam Tri Tangtu di Buana, pemisahan ini juga berfungsi untuk menjaga keseimbangan alam semesta (buana), manusia, dan spiritualitas, sehingga melibatkan dimensi yang lebih holistik.

Kita perlu mengapresiasi bahwa jauh sebelum pengaruh Barat datang, peradaban Nusantara telah mengembangkan konsep-konsep tata negara yang tidak kalah canggih dan relevan. Sayangnya, keunggulan seperti ini seringkali tenggelam dalam narasi sejarah yang lebih banyak menyoroti konsep-konsep Barat. Tri Tangtu di Buana bukan hanya bukti kemajuan politik Kerajaan Galuh, tetapi juga cerminan betapa kaya dan majunya peradaban Nusantara dalam mengelola kekuasaan dan masyarakat.

Mengapa konsep ini penting untuk kita refleksikan hari ini? Dalam dunia yang semakin kompleks, di mana kekuasaan sering terpusat dan rentan terhadap penyalahgunaan, pelajaran dari Tri Tangtu di Buana mengajarkan kita pentingnya keseimbangan dalam memerintah. Pemisahan kekuasaan yang berimbang adalah kunci untuk menciptakan negara yang stabil dan adil, dan Tri Tangtu di Buana telah memberikan contoh yang baik tentang bagaimana pemikiran ini bisa diterapkan dalam konteks lokal.

Kesimpulannya, Tri Tangtu di Buana adalah sebuah warisan luar biasa dari peradaban Sunda yang mendahului teori pemisahan kekuasaan Montesquieu. Ini menunjukkan bahwa peradaban Nusantara telah memiliki konsep tata pemerintahan yang matang, bahkan jauh sebelum teori modern Barat dikenal luas. Dengan demikian, kita dapat belajar banyak dari sejarah kita sendiri, menggali kembali nilai-nilai lokal yang relevan untuk diterapkan dalam konteks pemerintahan saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun