Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Wanita dan Diskriminasi di Dunia Kerja

24 April 2012   13:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:10 10071
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DUNIAKERJA ternyata mampu menciptakan hukum kebiasaan yang bahkan lebih kuat dan mengikat daripada perundangan tertulis. Beberapa kebiasaan yang diskriminatif telah berlansung lama dan mengakar di dunia kerja sehingga dipandang suatu hal yang lumrah.

Hukum yang berlaku universal, bahwa semua orang berkedudukan setara di muka hukum dan berhak atas perlindungan yang sama tanpa diskriminasi apapun (equality before the law) adalah jargon idealitas, semacam das sollen, karena bagaimana hukum dipraktikan sehari-hari dalam kenyataannya merupakan hal yang lain lagi (das sein). Tidak main-main, konsep idealitas das sollen ini tidak hanya diformulasikan dalam konstitusi RI (UUD 1945), tetapi juga tercantum dalam Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia.

Bentuk diskriminasi

Bentuk-bentuk diskriminasi bagi wanita dalam hubungan kerja atau hubungan industrial sangat luas sekali lingkup spektrumnya, sejak seseorang belum bekerja sampai purna kerja (M Syaufii Syamsuddin, 2004: 89-96).

Perlakuan diskriminatif dalam pekerjaan dapat terjadi sejak mulai penerimaan (recrutment), berupa pengumuman penerimaan kerja atau lowongan kerja, seperti mencari tenaga kerja wanita yang belum menikah, siap tidak menikah selama dalam kontrak atau pada waktu tertentu, penampilan menarik (baca: berparas aduhai dan bertubuh bohay), dan sebagainya.

Sangat umum wanita berparas cantik menempati posisi-posisi seperti teller bank, customer service, pront office, pramugari, penyiar TV, atau salles promotion girl (SPG). Sulit dibayangkan bahwa sekalipun cerdas, enerjik, kreatif, penuh inisiatif, dan berhati mulia bijak bestari, tetapi kalau tidak cantik, maka sukar dapat menempati posisi-posisi tersebut. Inilah yang dinamakan hukum kebiasaan dalam dunia kerja. Sebab tidak ada perundangan tertulis di negara ini atau di negara manapun yang mengharuskan demikian. Dunia kerja (pemberi kerja) telah membangun menara kokoh berupa “asumsi” bahwa terdapat hubungan yang berarti (signifikan) antara paras yang menawan dengan kinerja dan kepuasan konsumen atau pelanggan.

Bentuk-bentuk diskriminatif yang dialami wanita (calon) pekerja di atas sebenarnya merupakan wujud lain dari eksploitasi terhadap wanita. Bahwa nilai kerja seorang wanita adalah pada penampilan (tubuh) bukan pada kinerja. Dan ada pula unsur pelanggaran kodrati yang diberikan Tuhan (pelanggaran HAM), mana kala pemberi kerja mensyaratkan keharusan bersedia tidak menikah atau keharusan bersedia tidak hamil selama dalam waktu tertentu. Idealnya, yang dibutuhkan di dalam suatu hubungan kerja adalah keterampilan dan dedikasinya, bukan jenis kelamin dan kecantikannya.

Setelah diterima bekerja, wanita kembali rentan dengan diskriminasi. Contoh perlakukan diskriminatif tetapi sangat terselubung seperti dalam hal kesempatan menduduki jabatan antara pekerja laki-laki dan wanita. Diskriminasi yang lebih gamblang seperti adanya larangan suami-istri tidak boleh bekerja di dalam satu perusahaan dengan alasan atau kriteria yang tidak jelas; sulitnya wanita menerima cuti haid, cuti hamil, dan pembayaran upah dalam waktu cuti hamil/cuti haid yang terkadang bermasalah, atau bermasalahnya pemberian bantuan persalinan dan upah selama persalinan dan saat cuti persalinan (selama dua bulan).

Bentuk diskriminasi juga kerap dialami wanita dalam hal penggajian. Hal yang lumrah dalam dunia kerja, gaji wanita lebih rendah daripada gaji pria, sekalipun wanita tersebut berkedudukan sebagai kepala keluarga—entah karena suami tidak bekerja, menjadi janda, atau semua anggota keluarga menganggur kecuali ia. Dapat juga disebut diskriminasi apabila penggajian kepada wanita yang telah menikah disamakan dengan wanita lajang; sementara pekerja pria yang menikah tidak diperlakukan seperti pria lajang.

Perlakukan diskriminasi yang berbau rasialis juga bisa terjadi di dunia kerja. Misalnya, pemberian “amplop” disamping slip resmi gaji yang diberikan kepada etnis atau warna kulit tertentu (sesuai dengan etnis atau warna kulit pemilik atau pimpinan perusahaan).

Dalam proses berakhir atau setelah selesai berada dalam hubungan kerja, wanita juga lazim mendapatkan diskriminasi. Contoh lazim diantaranya perbedaan usia pensiun bagi wanita dan pria, atau pencantuman klausula dalam perjanjian kerja dimana akan di-PHK apabila pekerja wanita menikah, hamil atau bersalin.

Dalam konteks di atas, perjanjian kerja dijadikan alat agar diskriminasi menjadi legal, semacam pintu masuk diskriminasi bagi wanita di dunia kerja. Sebagai pencari kerja, wanita cenderung sangat sedikit mempunyai pilihan. Sebab, perjanjian kerja telah terlebih dahulu disiapkan atau dibakukan bentuknya oleh pihak pemberi kerja (standard contract). Pilihannya cuma menerima klausula perjanjian atau tidak mendapatkan pekerjaan (take it or leave it).

Pengaturan

Di level pemberi kerja, kita hanya bisa berharap adanya niat baik berupa pemberian kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan, jabatan, promosi, dan pelatihan. Karena itu sangat ditunggu peran aktif dari serikat pekerja membuat rumusan-rumusan untuk dirundingkan pada pihak perusahaan agar pengaturan syarat-syarat kerja dalam peraturan perusahaan (PP) dan perjanjian kerja bersama (PKB) menjadi lebih adil dan tidak bias jender.

Pada level pembuat kebijakan umum, mekanisme politik sangat berperan untuk menghapuskan atau setidaknya meminimalisir praktik diskriminasi di dunia kerja. Melalui keputusan politik antara eksekutif dan legislatif dapat diformulasikan berbagai perundangan yang melindungi wanita. Dan melalui keputusan politik pula, para otoritas politik dapat meratifikasi berbagai konvensi internasional yang menghapuskan bias jender dalam dunia kerja.

Sampai saat ini, Indonesia sebenarnya sudah memiliki satu bundel besar perundangan yang melindungi wanita. Persoalannya justru pada pelaksanaannya (implementasi) di lapangan.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 100 Tahun 1951 tentang Pengupahan yang Sama Antara Pekerja Laki-Laki dan Wanita untuk Pekerjaan Yang Sama Nilainya, dengan Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1957; Konvensi ILO Nomor 111 Tahun 1958 tentang Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan, dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999; dan Konvensi PBB tentang Convention on the Elimination of all form of Discrimination Against Women (CEDAW) dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984. Selain itu, dikeluarkan pula TAP MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia; Keppres Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia Indonesia; dan Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun