[caption id="attachment_227291" align="aligncenter" width="560" caption="Ilustrasi razia narkoba (antarafoto.com)"][/caption] Andai mau menjahati orang cukup diam-diam masukan agak 0,3 gram sabu ke saku baju/jaket seseorang atau ke dalam mobil. Sekalipun korban tidak tahu-menahu namun dalam realita praktik hukum di lapangan peristiwa demikian tetap dapat diproses hukum oleh kepolisian. Korban segera ditangkap, diborgol, dan dijebloskan ke tahanan. Uraian ini tentu saja bukan bentuk anjuran melainkan sekedar gambaran awal dari kelemahan aturan hukum pidana di bidang narkotika. Bahkan, sekalipun hasil tes urine korban tidak mengandung (negatif) narkoba, tetap korban sulit lolos. Polisi dengan mudah berkilah bahwa faktanya barang haram itu ada di saku/mobil/rumah dsb. Soal apakah korban bersalah atau tidak itu adalah wewenang hakim di pengadilan untuk memutuskan. Polisi biasanya akan berpijak pada ketentuan UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam UU ini, yang dipidana tidak hanya orang yang memakai/menggunakan narkotika, melainkan juga orang yang menyimpan atau menguasai narkotika. Dalam peristiwa dimana tiba-tiba ada narkotika di dalam saku baju, misalnya, oleh kepolisian dikategorikan sebagai kategori menyimpan, jika kemudian hasil tes urine negatif. Di Sumatera Barat pernah heboh kasus begini. Sekitar bulan April 2011 lalu seorang aktivis LSM, Direktur LSM Limbubu Pariaman, Sumatera Barat, bernama Nurhayati Kahar (Yet) tiba-tiba dicegat polisi di perjalanan dari Padang menuju Pariaman. Ia digeledah. Dan didapati ada 0,3 gram sabu di dalam saku jaketnya. Oleh polisi Yet disuruh mengambil barang itu dari saku jaket. Ketemu. Dengan cepat polisi menangkap dan menjebloskan Yet ke tahanan. Pembelaan Yet bahwa ia tidak tahu-menahu ada sabu di jaketnya diabaikan polisi yang menangkap. Hasil tes urine Yet, aktivis yang getol lakukan advokasi dugaan korupsi bantuan bencana alam di Pariaman, ini pun akhirnya keluar dan terbukti negatif alias ia bukan pemakai. Oleh Yet dan 23 orang pengacaranya lantas ditunjukkan saksi-saksi dan bukti-bukti bahwa Yet bukanlah seorang pengedar maupun pemakai. Polisi cuek. Penulis dan beberapa pengacaranya yang lain menemui petinggi Polres Pariaman, yang menahan Nurhayati, untuk meyakinkan pihak kepolisian dengan bukti-bukti yang kuat tak terbantahkan. Namun polisi tetap tak tergoyahkan. Tetap kukuh membawa kasus ke pengadilan. Di Pengadilan Negeri Pariaman, Yet kemudian divonis 4 tahun penjara dan denda Rp.800 juta, karena dinilai terbukti melanggar Pasal 112 ayat (1) UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, meskipun hasil tes urinenya negatif dan terbukti pula ia bukan pengedar. Hakim Inang Kasmawati Cs tetap bersikukuh Nurhayati terbukti bersalah. Yet pingsan. Putusan itu kemudian dibanding ke Pengadilan Tinggi di Padang. Pengadilan Tinggi di Padang lantas memeriksa dan menjatuhkan vonis bebas murni kepada Yet. Yet dan keluarganya tak kuasa menahan haru dan tangis atas putusan ini. Bayangkan. Seseorang yang tidak bersalah harus mendekam sembilan bulan di penjara sampai ada vonis hakim yang membebaskannya. Bagaimana dengan kemerdekaan Yet yang telah terlanjur terampas oleh kecerobohan penerapan hukum demikian? Tidak jelas. Seorang korban salah tangkap atau korban fitnah seperti Yet biasanya akan kelelahan menghadapi aparat hukum. Makin lelah jika harus kembali berperkara menuntut aparat yang salah menangkapnya dan juga oknum yang memfitnah dirinya. Pepatah 'fitnah lebih kejam dari pembunuhan' terbukti nyata dalam kasus demikian, namun korban sulit untuk melawan dengan tuntas atas pihak-pihak yang menzaliminya. Aparat kepolisian perlu diadvokasi, bahwa ketentuan 'memiliki, menguasai, menyimpan, atau menyediakan narkotika' dalam UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika harus merupakan perbuatan aktif berupa unsur kesengajaan/kesadaran/pengetahuan sebagaimana tercermin dari awal me- dari redaksi pasal, sekalipun tidak eksplisit disebutkan unsur 'dengan sengaja' di dalam redaksi pasal bersangkutan. Orang yang pasif, tidak tahu-menahu, bahwa ada narkotika di pakaian/rumah/mobil bukan tergolong ke dalam perbuatan yang dikategorikan menyimpan. Ini untuk membedakan orang yang sengaja menyimpan atau menguasai dengan orang yang hanya difitnah, yang tidak tahu-menahu ada barang narkotika di tempatnya. Karena itu, andai siapapun mengalami razia oleh kepolisian sebaiknya ikuti beberapa tips razia narkoba berikut ini. Pertama-tama jangan panik. Sikap tenang sangat penting untuk menghindari tindakan ceroboh yang membahayakan, misalnya lari dari TKP sehingga di-dor aparat, berpindah posisi tubuh yang tak perlu, dan hilang kewaspadaan sehingga tak mengetahui ada yang menarok barang bukti ke tempat kita, atau ada yang melempar barang bukti tanpa kita ketahui. Selanjutnya, tolak siapapun termasuk polisi yang menyuruh kita mengambil sendiri barang yang dicurigai narkotika di dalam saku pakaian/mobil/rumah dll. Kalau dipaksa petugas maka jangan sentuh langsung, gunakan tisu atau sarung tangan, supaya tidak meninggalkan jejak sidik jari. Sebaliknya, jika polisi sendiri yang mau menggeledah kita maka pastikan penggeledahan tersebut dilakukan di tempat yang terang. Dan minta polisi yang menggeledah menyebutkan nama dan minta polisi tsb memperlihatkan kedua tangannya, ini untuk membuktikan tangannya kosong atau tidak memegang barang lain. Sedapat mungkin penggeledahan demikian ada saksi jika memungkinkan untuk itu, misalnya penggeledahan di rumah. Akibatnya sungguh berabeh jika kita lalai dan terjerat "pasal karet" UU Narkotika atas peristiwa yang sebenarnya bisa kita kendalikan sekalipun kejadiannya tiba-tiba. (SP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H