Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Politik

Teori Sentripetal-Politik Menuju 2014

22 September 2012   07:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:00 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13482830811276713238

[caption id="attachment_200322" align="aligncenter" width="530" caption="Jokowi di tengah-tengah massa rakyat. Foto: VIVAnews/Muhamad Solihin"][/caption] Terpilihnya pasangan Jokowi-Ahok dalam Pilkada Jakarta 2012 memunculkan gairah baru perpolitikan Indonesia menuju Pilpres 2014. Betapa tidak, iklim demokrasi di Indonesia sudah mampu melahirkan pemimpin yang cerdas, muda, plural, sederhana, merakyat, dan transparan. Coba, Ahok saja tidak tanggung-tanggung borong 11 buah smartphone BlackBerry demi menampung suara masyarakat. Kalau begini ceritanya gairah perpolitikan kita bisa-bisa mengalahkan Amerika Serikat. Obama saja tidak punya BlackBerry sampai 11 biji demi menampung suara publik! Perpolitikan di Indonesia pasca Pilkada Jakarta 2014 diyakini akan mengikuti pola gerakan sentripetal dengan Jokowi-Ahok sebagai sumbu percontohannya. Gerakan sentripetal dalam ilmu fisika merupakan gerakan menuju atau mendekati sumbu. Dihubungkan dengan fenomena Jokowi-Ahok maka perpolitikan para politisi di tanah air cenderung tidak akan populer jika berlawanan dengan ikon yang telah lebih dahulu muncul, dalam hal ini Jokowi-Ahok. Akan ada semacam gerakan senyap para politisi untuk bersaing melebihi pamor Jokowi-Ahok. Karena hanya dengan demikianlah mereka akan mampu bersaing menuju kursi RI 1 di 2014. Alternatif lain, para politisi yang berkharakter akan tumbuh seiring waktu dan membentuk poros-poros atau sumbu masing-masing, dengan kharakter sendiri. Akan tetapi tetap tak bisa mengelak dari sifat-sifat ketokohan yang telah me-ikon pada diri Jokowi-Ahok: cerdas, sederhana, merakyat, responsif, rendah hati, dan transparan. Warga pemilih akan cenderung membandingkan terhadap tokoh politik seperti Jokowi-Ahok. Politisi tipe Aburizal Bakrie, misalnya, akan terpental menjauhi sumbu (sentrifugal) perpolitikan menuju 2014 jika tetap mempertahankan kharakter pribadi dan komunikasi politik yang berjarak dengan massa rakyat. Ia terlalu borjuis untuk mampu berbaur dengan massa rakyat kebanyakan. Demikian pula halnya dengan Prabowo Subianto. Prabowo memang banyak sekali mengetuai organisasi pasar, kaum tani, dan nelayan. Akan tetetapi Prabowo tidak benar-benar merakyat dalam kesehariannya. Ia hidup mewah di perkebunan dengan kuda-kuda berharga puluhan bahkan ratusan juta. Berbanding jomplang dengan tipe kepemimpinan seperti dicontohkan Jokowi-Ahok. Ahok bahkan tak punya mobil pribadi! Belum lagi jika mempertimbangkan kadar kebersihan dari dugaan korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Politisi seperti Jokowi-Ahok terbebas dari dugaan kejahatan demikian. Tidak demikian halnya dengan Prabowo. Prabowo tersandera dengan kasus masa lalu, yakni penculikan 13 aktivis gerakan pro-Reformasi 1997-1998. Dimana Prabowo sudah mengakui memerintahkan Tim Mawar Kopassus untuk menculik para aktivis tersebut. Terkait hal ini, sebagian anggota Tim Mawar telah diadili dan dihukum. Tidak dengan komandannya, Prabowo. Bagaimana dengan Dahlan Iskan? Ia relatif memiliki kharakter politisi merakyat yang asli bawaan sendiri. Hanya saja jika diporsir kebanyakan bumbu bisa dinilai sebagai lebay, berlebihan. Tidur di gubuk petani, menanam padi di sawah, tidak memiliki korelasi langsung dengan tugas-tugas Dahlan Iskan di Kementerian BUMN. Untung saja Dahlan segera menyadari hal ini dan menghentikan aksi lebaynya. Harapannya, Jokowi-Ahok tetap fokus melaksanakan tugasnya membenahi Ibu Kota tanpa terpancing godaan politik menuju RI 1. Kapan perlu habiskan 10 tahun untuk membenahi Jakarta, jika periode kedua tetap dipercaya warga Jakarta. Biar politisi "ratu adil" lainnya yang akan muncul menuju 2014, itu pun kalau takdir tidak berbicara lain.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun