Wacana pelarangan kepala daerah atau wakil kepala daerah rangkap jabatan ketua/pemimpin lembaga agama, kembali menguat. Hal ini menyusul pro-kontra Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta 2012-2017 yang secara ex officio menduduki jabatan sebagai ketua/pemimpin tujuh lembaga Islam seperti Badan Amil Zakat dll.
Untuk kasus Ahok yang beragama Kristen solusinya sangat sederhana. Yakni, revisi aturan sebagai ladasan tugas rangkap jabatan ex officio wakil gubernur tersebut. Direvisi dengan mengalihkan tugas itu kepada gubernur atau sekretaris daerah (sekda) yang beragama Islam.
Alternatif solusi lain adalah, dengan menjadikan momen ini sebagai terobosan dimulai dari DKI Jakarta, yaitu dengan menghapuskan kewenangan kepala daerah atau wakil kepala daerah memimpin/mengetuai lembaga agama. Selanjutnya, lembaga-lembaga agama diserahkan pada umat non-politisi untuk memimpin dan mengurusnya.
Selama ini banyak bias ketika politisi memimpin lembaga agama. Lembaga agama yang harusnya ditujukan untuk kegiatan sosial keagamaan (amaliah sosial-keagamaan), namun dalam kenyataannya kerap digunakan untuk tujuan politik.
Menjelang pilkada adalah saat-saat paling krusial. Ketika posisi sebagai ketua lembaga agama tersebut sangat rawan disimpangkan untuk tujuan politis pemilihan pejabat yang bersangkutan. Gerakan keagamaan dengan demikian telah ditarik atau ditunggangi ke wilayah politik praktis.
Andai kata kewenangan memimpin lembaga agama tersebut dihapuskan, maka selanjutnya kepala daerah dan wakil kepala daerah fokus melayani semua lapisan warga tanpa memandang agama, etnis, suku, golongan, dan pandangan politik. Semua diperlakukan sama di hadapan pemerintahan.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H