Dalam praktik peradilan, masih saja publik (masyarakat) dipaksa tunduk pada aturan-aturan internal yang dibuat eksekutif atau yudikatif, seperti Instruksi Presiden (Inpres), Surat Edaran Mahkamah Agung (SE MA), dll.
Harusnya, sesuai asas kedaulatan rakyat, publik hanya terikat pada peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang (UU) dan peraturan daerah (Perda), yang dirumuskan dan disahkan oleh wakil rakyat di perlemen. Sedangkan aturan internal sebuah lembaga hanya mengikat di internal mereka saja.
Ambil contoh, bagaimana publik yang berurusan dengan Pengadilan Agama diharuskan tunduk pada Inpres No 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
KHI ini hanyalah rumusah fiqih Islam yang kental bermazhab Syafi'i, yang dibuat oleh Prof Dr Busthanul Arifin dkk, lalu untuk menyebarluaskan dan melaksanakannya dikeluarkan Inpres No 1 Tahun 1991 dan Kepmen Agama No 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Inpres No 1 Tahun 1991.
Lah, bagaimana bisa presiden merintah-merintah saya, misalnya. Saya bukan anak buah presiden. Saya tidak tunduk pada perintah presiden. Yang harus tunduk pada perintah presiden hanya anak buah persiden, seperti Bu Susi, Praktikno dll. Saya mana bisa diperintah-perintah presiden.
Bila memang suatu materi muatan sebuah peraturan dimaksudkan berlaku untuk umum, masyarakat luas, maka materi muatan peraturan itu wajib dibuat dalam "baju hukum" berupa UU atau Perda (yang berlaku untuk suatu wilayah daerah tertentu saja). Ikuti prosedurnya.
Sekalipun, untuk konteks fiqih Islam, akan menimbulkan kontroversi jika dibakukan dan diseragamkan dengan peraturan perundang-undangan. Namanya juga fiqih, pendapat ulama, tentu saja berwarna-warni, lah kok mau diseragamkan.
(Sutomo Paguci)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H