[caption id="attachment_238941" align="aligncenter" width="560" caption="Screenshot Youtube tarian sholat siswi SMA 2 Tolitoli (SP)"][/caption] Cukup mencengangkan video sholat yang ditarikan secara Harlem Shake oleh lima orang siswi SMA 2 Tolitoli. Video Harlem Shake dengan iringan lagu "One More Night"-nya Maroon 5 tersebut berdurasi 5,34 menit dan ditayangkan di Youtube. Cukup banyak videonya dan satu diantaranya telah dilihat 164.561 kali sampai tulisan ini diterbitkan. Tentu saja video demikian tak dapat dibenarkan. Ritual ibadah agama apapun tak layak diparodikan atau dijadikan permainan lalu ditayangkan ke muka publik. Sebebas apapun suatu kebudayaan sikap demikian tidak bisa ditoleransi. Akan tetapi memfokuskan tindakan pada anak-anak demikian, diantaranya dengan hukum fisik atau administratif berupa dikeluarkan dari sekolah, bukan solusi satu-satunya yang bijaksana. Setidaknya demikian pendapat penulis. Anak-anak itu adalah contoh korban dari kekeliruan pendidikan agama di sekolah dan masjid. Sebagaimana diketahui umumnya pendidikan agama di sekolah dan masjid atau madrasah ditekankan pada ritual dan hafalan, bukan pada arahan atau motivasi pencarian spiritual. Sehingga yang lahir adalah siswa dengan pengetahuan agama yang kering dari spiritualitas. Sulit bisa diharapkan dari pendidikan yang berorientasi hafalan demikian melahirkan kedalaman, kebijaksanaan, dan keseimbangan ilmu dan spiritual. Saya pun pernah mengalami pendidikan demikian dulunya. Hal biasa saja jika waktu mengaji tertawa terbahak-bahak dengan bebunyian bacaan kitab suci, suatu bahasa yang terdengar sangat asing dan aneh di telinga kami anak-anak. Biasanya guru mengaji hanya akan menjatuhkan hukuman fisik, biasanya dalam bentuk cambuk rotan. Ctar! Kami pun akan berhamburan lari ke luar langgar dan melompat dari atas langgar, tingginya sekitar 3 meter. Karena seringnya kejadian demikian tanah di dekat tangga langgar pada berlobang bekas tumit kami yang melompat dari atas. Andai pelaku video tersebut terungkap maka sanksi yang proporsional menurut penulis adalah memintanya untuk meminta maaf dan berjanji tak mengulanginya kembali, diikuti penambahan pembinaan mental dan spiritual, serta evaluasi total pendidikan agama di sekolah dan Indonesia pada umumnya. Memenjarakan para siswi itu atau memecatnya dari sekolah bukanlah pilihan yang tepat. (SP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H