Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Politik Hukum Pidana Mati Tidak Jelas

11 Oktober 2012   11:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:56 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13499549801089461106

[caption id="attachment_203849" align="aligncenter" width="387" caption="Ilustrasi eksekusi mati/thinkstockphotos.com"][/caption] Sumber masalah sehingga pidana mati menjadi perdebatan dalam penegakan hukum di Indonesia adalah, tidak jelasnya politik hukum terkait pidana mati di Indonesia saat ini. Tidak ada sinkronisasi antara UUD 1945 dan UU Organik lainnya. Sebagai catatan kaki, politik hukum adalah garis kebijakan (legal policy) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara (Mahfud MD, 2009: 1). Pada satu sisi UUD 1945 dan UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan hak untuk hidup merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, artinya, termasuk oleh putusan hakim. Pada sisi lain, hukuman mati masih tercantum dalam undang-undang di bawah UUD 1945, seperti KUHP, UU Tipikor, UU Narkotika, dan UU Terorisme. Tidak heran jika dalam tataran penegakan hukum dalam praktik hukuman mati masih diterapkan oleh penegak hukum. Semestinya, politik hukum di Indonesia pasca perubahan kedua UUD 1945 tanggal 18 Agustus 2000, yang memasukkan ketentuan hak untuk hidup sebagai HAM (Pasal 28I), harusnya tercermin dalam seluruh program legislasi nasional, yang mengacu pada ketentuan konstitusi UUD 1945 tersebut. Sayangnya, program pembaharuan hukum di Idonesia sangat lambat. Aturan-aturan yang tidak sesuai dengan jiwa konstitusi UUD 1945, termasuk soal hukuman mati, tidak segera disesuaikan dan disinkronkan dengan segera. Kacaunya, UU Narkotika No 35/2009, yang lahir jauh setelah perubahan kedua UUD 1945 tahun 2000, malahan masih mencantumkan pidana mati. Demikian pula halnya dengan UU Pemberantasan Terorisme No 15/2003 jo. Perpu No 1/2002. Dengan demikian, dalam tataran praktis, tidak bisa disalahkan jika kepolisian, kejaksaan dan hakim masih menggunakan pidana mati dalam penegakan hukum. Karena pidana mati memang masih tercantum dalam berbagai undang-undang yang berlaku di Indonesia. Sementara itu, kritik perlu diarahkan pada hakim yang menggunakan dalil bahwa pidana mati sebagai melanggar HAM, untuk meniadakan pidana mati kepada terdakwa narkotika. Idealnya, pertimbangan hukum hakim tidak dengan menafsirkan dan menarik ketentuan undang-undang di luar skop undang-undang yang didakwakan kepada terdakwa, untuk meniadakan hukuman mati pada terdakwa, misalnya dalam kasus narkotika. Cukup mengacu pada perbuatan terdakwa sendiri saja, dalam hal ini bahwa perbuatan terdakwa wajarnya memang dihukum sekian tahun atau seumur hidup (bukan pidana mati). Hal yang sama berlaku pula dalam pertimbangan grasi. Ke depan, politik hukum terkait pidana mati harus tercermin dalam program legislasi nasional. Dalam hal ini mengacu pada UUD 1945 yang menyebutkan bahwa hak untuk hidup sebagai HAM yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun, artinya, UUD 1945 tidak berkenan adanya pidana mati.(*)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun