Berkali-kali rekan-rekan bertanya dengan nada menuduh bahwa tulisan-tulisan saya terkait kritik pada PKS sebagai dibayar, proyek, sentimen pribadi, hanya kebencian, dan semacamnya. Berkali-kali pula saya jawab pertanyaan bernada menuduh itu.
Namun karena berulang-ulang dan capek juga pengulangan jawaban demikian, maka, ada baiknya saya sedikit bercerita petualangan saya di Kompasiana.
Dari 800-an lebih artikel saya di Kompasiana tersebut, tidak ada satu pun yang ditulis dengan motif bayaran. Pernah suatu hari saya diinbox orang, entah siapa, menawar artikel saya dengan jumlah rupiah tertentu. Saya tolak (tak saya tanggapi). Anak-anak (baca: artikel) tersebut tidak dijual.
Saya menulis di Kompasiana murni gratisan---karena memang itu proporsinya, bukan? Saking gratisannya saya tak mau menulis dalam even lomba-lomba yang berhadiah. Saudariku Lilih Wilda pernah menawari, ayok bang, katanya, ikut even ini itu. Namun saya tak ikuti.
Kecuali jika menulis di media cetak yang memang ada honornya. Dan itupun jika honor tersebut ditransfer ke rekening. Jika honornya harus dijemput, ya, saya ogah. Ini sejak saya diangkat advokat. Mungkin sudah berjuta-juta rupiah honor tulisan saya di koran-koran yang tak diambil.
Kalaupun saya menulis dalam kapasitas mewakili orang (klien) pasti akan saya sebutkan orangnya. Bahwa saya bertindak untuk dan atas nama si Anu bin Fulan---saya yakin teman-teman yang sudah cukup lama di Kompasiana mengenal saya soal ini. Itu etika profesi yang standar.
Selebihnya tidak ada muatan politik mewakili partai atau apapun di tulisan saya. Saya tak berpolitik praktis dan bukan anggota partai politik apapun. Nonpartisan.
Apa yang saya tulis sepenuhnya hak cipta saya berdasarkan pemikiran dan perasaan per tulisan dibuat. Bukan pesanan. Toh, selain mengkritisi, ada juga tulisan saya yang memberi apresiasi positif di lain waktu. Silahkan dicek kalau tak percaya.
Bagi saya, menulis merupakan bagian dari advokasi dalam arti luas atau peran publik advokat dalam upaya menegakkan prinsip-prinsip hukum, konstitusi, dan politik yang beradab. Caranya, ada dengan teknik yang masuk akal, dan selebihnya ada yang melampaui akal sehat (beyond common sense).
(SP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H