Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pengalaman Dikriminalisasi Polisi

7 Oktober 2012   13:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:07 727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13496141831472824509

[caption id="attachment_202987" align="aligncenter" width="506" caption="Ilustrasi/thinkstockphotos.com"][/caption] BENGKULU, 1995 — Waktu itu baru selesai sholat magrib ketika pintu depan digedor dengan keras. Saat itu aku sendirian di rumah seperti biasanya sepanjang tahun. Buru-buru aku ke depan melihat siapa yang datang, sebab dari cara dan suara gedorannya sudah menimbulkan curiga yang tidak-tidak. Benar saja. Ada empat orang berseragam preman (sipil) berdiri di depan pintu. Caranya berdiri saja sudah menunjukkan ada yang tak beres. Tanpa memperlihatkan surat perintah penangkapan, aku diberitahu oleh dua orang diantaranya, yang kemudian kuketahui sebagai polisi, bahwa saat itu juga aku akan ditangkap. Tuduhannya mencuri motor dan aku tak bisa lagi mengelak karena motor itu terparkir tenang di dekat sumur dalam rumah. Kata si berpakaian preman satunya lagi, mereka telah mengintai rumah ini sejak dua hari yang lalu. Dua orang diantara empat orang itu ternyata keluarga yang punya motor, keduanya menunjuk-nunjuk ke arah motor itu seraya mengangguk-ngangguk, membenarkan dengan pasti. Sebagai murid kelas dua SMA yang awam prosedur hukum acara pidana, aku tidak menanyakan surat perintah penangkapan. Aku hanya bilang bahwa tidak perlu ditangkap dan diborgol karena saya akan sukarela datang ke kantor bapak-bapak untuk menjelaskan semuanya.Tidak ada rasa keder sedikit pun, karena merasa tidak bersalah dan mental sudah biasa berada dalam tekanan ketika di organisasi. Ini untungnya suka organisasi. Aku ikut dengan mereka saat itu juga, menuju Polda Bengkulu. Oh, ya, aku permisi sebentar waktu itu untuk berganti pakaian. Lalu naik ke dalam mobil jemputan milik polisi. Para tetangga melongo melihatku dibawa mobil polisi. Termasuk seorang tetangga, yang kebetulan seorang preman terminal, dan ia temanku—juga melongo seolah tak percaya. Mungkin ia berpikir….tak mungkin seorang pemuda alim, pintar, dan aktif organisasi bisa berbuat kejahatan konyol dan ditangkap polisi. He-he-he, ini terkaanku saja seraya melebih-lebihkan. Sesampai di Polda Bengkulu, di dekat Benteng Malborough, hari sudah malam sekitar jam 20.00. Tanpa menunggu lama aku diminta masuk sebuah ruangan pemeriksaan berukuran sekitar 4 kali 6 meter. Proses verbal berjalan dengan cepat, tak sampai satu jam. Istirahat sebentar. Tiba-tiba aku disodori surat yang kemudian kubaca sebagai surat perintah penangkapan. Aku ditangkap untuk waktu selama 1 kali 24 jam. Sekitar pukul 21.30 aku dibawa dan dijebloskan ke ruang tahanan Polda Bengkulu, tak jauh dengan rumah pengasingan Sukarno (1938-1942). Belum sempat duduk di ruang sel tahanan, seorang berbaju preman (sudah pasti polisi) datang menghampiri. Ia ngomong sebentar dari celah jeruji besi dan plak! Tangannya melayang menampar pipi kananku. Ia ngomong lagi entah apa-apa dan plak! Melayang lagi tangan kirinya, kali ini kena ke pipi kiriku. Sialan! Ritual “penyambutan” sudah selesai. Aku duduk di sudut kamar sel dengan kepala dipenuhi pikiran berbagai rupa yang berklebatan silih berganti. Mencari akal. Seorang teman yang lebih dahulu masuk di sel tahanan, nama panggilannya Unyil, ia masih anak-anak dan kutaksir berumur sekitar 12 tahun, mencoba menyapaku. Si unyil berwajah pucat dan pandai ngomong ini belakangan kuketahui ditangkap polisi—sudah delapan kali ia ditangkap—karena kasus yang sama: mencuri tape mobil atau tape masjid. Lalu, disusul sapaan seorang bapak-bapak paruh baya gendut yang lagi duduk di ranjang kayu butut, yang belakangan kuketahui masuk sel karena kasus penadahan barang curian. Ia orang yang sangat ramah. Asalnya dari Jawa Tengah. Katanya kenal dengan penyanyi dangdut bernama Rita Sugiarto. Ia senang sekali bercerita, sampai pusing kepala saya mendengarkannya. Menjelang tengah malam aku sudah menemukan ide untuk keluar dari kemelut ini. Ide makin dipaksa keluar karena suasana sel yang amat sangat tidak menyenangkan—bau, daki tebal di lantai dan tikar pandan butut, bikin gatal kalau diduduki, kepinding di mana-mana, dan WC yang mampet. Pokoknya, tobat dah. Pagi-pagi sekali aku meminta seorang penjaga untuk menghubungkanku melalui telepon dengan kakak sepupuku, seorang tentara berpangkat sersan kepala. Terhubung. Langsung kusampaikan keadaannya. Menjelang tengah hari sepupuku ini datang ke selku. Ia kemudian menemui polisi yang menangkapku, menceritakan “peta kasus” sesuai perkiraannya. Cerita sepupuku kemudian, polisi sempat curiga padanya karena begitu yakin dengan “peta kasus” yang disampaikannya. Wajar saja sepupuku tahu “peta kasus” karena orang yang menitipkan motor di rumah tempatku tinggal selama dua minggu sampai aku ditangkap tersebut adalah temannya dan sering tidur di rumahnya. Sepupuku tahu persis apa pekerjaan temannya itu, yang kebetulan juga kukenal karena beberapa kali datang ke rumah. Cuma butuh tiga hari untuk menangkap si maling. Ia tertangkap persis sebelum masuk ke bus untuk melarikan diri menuju Lampung. Puih, untung saja. Ia langsung ditangkap dan dijebloskan ke sel bersebelahan denganku. Aku sendiri langsung dikeluarkan pada hari itu juga. Ketika si malingnya ditangkap, polisi sontak berubah 180 derajat. Semua pada ramah-ramah. Seorang polisi, sepertinya lulusan Akpol, muda dan cukup tampan, datang menghampiriku dan mengajaku jalan-jalan untuk refresing sehabis dikeluarkan dari sel. Aku juga diajak ke rumah dinasnya. Belakangan aku baru tahu bahwa polisi sedang melakukan “pendekatan” karena takut digugat, sebab mereka telah salah tangkap dan menangkap tanpa surat—tangkap dahulu, surat belakangan. Memang bersyukur sih bisa keluar dari tahanan. Namun tetap tak bisa melupakan kerasnya penyiksaan selama tiga hari ditahanan polisi. Penyiksaan makin keras karena aku melawan. Masih ingat persis sebuah tendangan polisi tinggi besar mendarat persis di dadaku dan aku terpental ke tembok sel. Saat itulah aku, diam-diam, mengubah cita-cita dari politisi menjadi seorang pengacara.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun