Berdasarkan hasil audit BPK, Menteri Pemuda dan Olah Raga Andi Mallarangeng (AM) dinilai melakukan pembiaran sehingga terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional di Bukit Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Â Selain itu, Menegpora juga diduga tidak mengendalikan dan mengawasi pengelolaan dan penggunaan keuangan negara.
Kategori perbuatan pertama (pembiaran) dan perbuatan kedua (tidak mengendalikan dan mengawasi) merupakan perbuatan pasif. Parameternya adalah tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Menegpora yang tidak dilaksanakan (yang seharusnya dilaksanakan). Nah, dapatkah perbuatan demikian dijerat dengan pasal tindak pidana korupsi?
Hemat saya sangat mungkin. Terutama dijerat dengan pasal penyalahgunaan kewenangan dalam Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) jo. pasal penyertaan (deelneming) vide Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sekalipun AM tidak mendapatkan cipratan duit proyek tersebut namun dinilai memuluskan jalan bagi keuntungan orang lain secara melawan hukum, sebagaimana unsur 'menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi' dalam Pasal 3 UU PTPK atau unsur 'memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi'.
Sebagaimana diketahui, per teoritis penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir) adalah menggunakan kewenangan untuk tujuan lain daripada maksud diberikannya kewenangan tersebut (S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, 1987: 62). Kongkritnya, secara kewenangan ybs harusnya mencegah atau melarang terjadinya suatu perbuatan yang dilarang akan tetapi kewenangan itu tidak dilaksanakan, atau, harusnya mengawasi anak buah supaya tidak terjadi penyimpangan tapi tidak dilakukan.
Perumusan yang lazim dari delik penyalahgunaan kewenangan memang bentuk perbuatan aktif. Akan tetapi dalam praktik peradilan, bentuk perbuatan pasif (pembiaran) juga merupakan perbuatan yang diancam pasal pidana, asalkan masih dalam lingkup kewenangannya.
Pasal 3 UU PTPK menyatakan, "Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."
Unsur penyalahgunaan kewenangan telah terpenuhi. Bagaimana dengan unsur lain dari Pasal 3 UU PTPK? Sebagaimana diketahui, unsur pasal ini adalah: (i) setiap orang, (ii) menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, (iii) menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan, dan (iv) dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Unsur-unsur pasal di atas bersifat kumulatif dan harus terpenuhi semuanya. Memang, ada sebagian pakar hukum pidana menilai bahwa unsur ke-iv tidak mesti terpenuhi karena adanya kata 'dapat' dalam unsur pasal ini. Namun, secara faktual dan praktik pengadilan, juga mengutip pendapat disertasi doktoral hukum pidana Nur Basuki Minarno yang telah dibukukan (2009: 56), unsur 'kerugian keuangan negara atau perekonomian negara' haruslah ada baru Pasal 3 UU PTPK relevan sebagai suatu tindak pidana korupsi.
"Tindak pidana korupsi tidak selalu mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, hal tersebut hanya bisa terjadi terkait dengan penyuapan terkait dengan perihal penyuapan terhadap pegawai negeri/penyelenggara negara/hakim/advokat (Pasal 5, 6, 11 dan 12 UU PTPK), tetapi dalam kaitannya dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK secara materiel harus ada kerugian terhadap keuangan negara atau perekonomian negara," tegas Nur Basuki Minarno.
Dihubungkan dengan kasus ini, unsur 'kerugian keuangan negara' tersebut sudah ada indikasinya berdasarkan dokumen otentik oleh dan berdasarkan audit BPK, yakni sejumlah Rp.243,66 miliar. Tinggal lagi penyidik mencari bukti aliran dana ke AM atau orang lain atau suatu korporasi. Dalam koteks ini, di pengadilan hakim biasanya tinggal mengikuti atau mengesahkan saja perhitungan oleh BPK demikian, kecuali ada bukti sebaliknya yang tak terbantahkan.