Belakangan ini, nampaknya karena tahun politik, konsep hukum alih daya atau outsourcing dipolitisasi dengan hebat. Diantara yang mempolitisasinya adalah sebagian kalangan serikat buruh dan kubu Partai Gerindra.
Dikatakan, bahwa sistem outsourcing dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) adalah kreasi era Megawati Soekarnoputri. Tentu saja "serangan politik" demikian untuk melemahkan kubu PDI Perjuangan dan capresnya, Jokowi.
Padahal, sistem alih daya telah dikenal sejak dahulu kala, baik di negeri Belanda maupun di negeri jajahannya, termasuk Hindia Belanda (Indonesia), yang menerapkan hukum penjajah Belanda. Tersebutlah Burgerlijk Wetboek (B.W.) atau Kitab Undang-Undang Hukum Sipil atau sekarang dikenal dengan sebutan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) peninggalan Belanda, telah mengatur soal substansi outsourcing.
BW tersebut mulai berlaku di Hindia Belanda per tanggal 1 Mei 1848 dengan diumumkan dalam Staatsblad (lembaran negara) No 23 tanggal 30 April 1847.
Dengan kekuatan Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang berbunyi "Segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini" maka berlakulah ketentuan BW di seluruh Indonesia.
Kebetulan, pada waktu disahkannya UUD 1945, dan hingga saat ini, belum dibuat KUH Perdata versi asli Indonesia, sehingga berlakulah ketentuan BW tersebut. Sekalipun, dalam praktik, KUH Perdata tersebut cenderung menjadi apa yang disebut "kitab hukum" belaka, dimana daya keberlakuannya tergantung pilihan hukum para pihak dan keputusan hakim.
Ketentuan BW yang mengatur substansi outsourcing tersebut dalam Pasal 1601 huruf b yang berbunyi “Pemborongan pekerjaan adalah perjanjian, dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan.”
Hanya saja, lembaga hukum pemborongan pekerjaan versi BW di atas berlaku umum untuk pekerjaan jangka pendek, tanpa pembatasan ruang lingkup seperti halnya alih daya dalam UUK. Dengan demikian, UUK jauh lebih rinci dan "manusiawi" dibandingkan BW. Makin manusiawi lagi dengan pengetatan ruang lingkup outsourcing dengan putusan Mahkamah Konstitusi No 27/PUU-IX/2011.
Menyangkut pembahasan yuridis-teoritis ruang lingkup ousourcing dapat dibaca dalam artikel ini: "Meluruskan Praktik Outsourcing".
(Sutomo Paguci)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H