EMPAT BELAS TAHUN terakhir hanya dua kali saja penulis tidak ngantuk saat mendengar khotbah jum'at. Tidak ngantuk dikarenakan konten yang disampaikan khotib Jum'at sangat menarik dan disampaikan dengan teknik yang menarik pula. Selebihnya ngantuk berat. Saat diperhatikan para jemaah, tak kurang setengah diantaranya yang ngatuk, bahkan cukup banyak yang tertidur lelap. Ini terjadi di mana-mana, di banyak masjid, kebetulan penulis sering sholat Jum'at di masjid berlainan.
Pertama, kira-kira 13 tahun lalu di masjid Muthathahirin Pasar Baru, Padang. Khotibnya nampaknya orang Batak, suaranya khas, bariton. Sayang lupa namanya. Yang jelas ia orang lapangan. Ia bercerita pernah menjadi da'i di Mentawai. Khotbahnya sangat logis dan menyentuh hati. Perasaan seperti digedor-gedor dibuatnya. Percaya atau tidak, penulis menangis saat itu. Suatu hal yang tak pernah terjadi sebelumnya.
Kedua, kira-kira sebelas tahun lalu di Masji Nurul Fikri, Universitas Andalas, Padang. Khotibnya waktu itu adalah Ir. Adiwarman Azwar Karim, SE., MBA., MAEP. Uraiannya sangat menarik, logis, intonasinya terjaga apik, dan sedikit provokatif. Ia bercerita tentang ekonomi Islam, dulu dan sekarang.
Dengan demikian praktis sudah sebelas tahun terakhir tidak ada lagi mengalami keterjagaan saat mendengar khotib Jum'at. Kadang terasa aneh sebenarnya, tiba-tiba ngantuk menyerang dahsyat hanya beberapa saat setelah khotib naik mimbar. Dan ngantuk tiba-tiba hilang saat khotbah selesai atau saat pundak ditepuk jemaah sebelah karena iqamah sudah dikumandangkan sedangkan diri masih terlelap. Kata orang, setan biang keladinya. Setan meniup-niup mata jamaah.
Umumnya khotbah jum'at sangat normatif, seperti menghafal, tidak berenergi, tidak antusias. Kata-kata mengalir keluar seperti tidak disadari, tidak meyakinkan. Khotibnya sendiri terdengar tidak yakin dengan kata-katanya. Bagaimana mungkin para jemaah yakin dengan apa yang dikatakan khotib.
Paling banyak uraian khotbah tidak kongkrit. Hanya membahas hal-hal umum dan itupun diulang-ulang, jika bukan oleh khotib bersangkutan, ya oleh khotib lain lagi.
Sangat jarang khotib membahas problem keumatan yang real seperti korupsi, penyakit birokrasi, kemiskinan, rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan seterusnya. Bagaimana perspektif agama menangkalnya, yang kongrit tentu saja.
Ironisnya, tak jarang khotib justru menyampaikan hal-hal sensitif dan provokatif negatif. Provokatif positif tentu dianjurkan. Ini provokatif negatif. Contohnya, menyerang agama lain atau sekte agama lain sebagai kafir, dan ajakan untuk memerangi atau menyerang mereka. Jika jemaah sedikit sadar dan membuka sensitifitas tentu terasa risih dibuatnya, karena khotbah itu diperdengarkan dengan mikropon sehingga mungkin sekali didengar oleh saudara-saudara sebangsa yang beragama lain atau tidak sekeyakinan dengan khotib.
Ada lagi yang menganjurkan melakukan nahi mungkar dengan kekerasan fisik. Dikatakan sebagai, keimanan yang paling tinggi atau paling dianjurkan. Khotib demikian otomatis menyetujui kekerasan atas nama agama seperti biasa dilakukan ormas garis keras.
Materi khotbah yang mempromosikan kekerasan atas nama agama dengan dalih nahi mungkar sangat membahayakan stabilitas negara. Karena berarti membolehkan aksi main hakim sendiri (eigenrichting). Nota bene mempromosikan pelanggaran hukum pidana. Setiap aksi kekerasan oleh sipil merupakan tindak pidana. Sedangkan aparat penegak hukum saja dibatasi sangat ketat dalam melakukan tindakan kekerasan atas nama hukum, misalnya jika tersangka melarikan diri, melawan aparat, itupun menembak dengan peringatan terlebih dahulu sebelum melumpuhkan dengan cara menembak kaki.
Sudah saatnya tokoh agama membangkitkan umat dengan spirit kerja keras, antikorupsi, kepedulian sosial, dan cinta kasih. Tentu dengan teknik penyampaikan yang menarik.[]