Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menyoal Forum Mahkumjakpol

21 April 2012   06:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:20 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Atas inisiatif dan dengan difasilitasi unsur kekuasaan esekutif, yakni Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI waktu itu, Patrialis Akbar, ditandatanganilah Piagam Kesepakatan Bersama Pembentukan Forum Koordinasi dan Konsultasi Penegak Hukum oleh Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan HAM RI, Jaksa Agung RI dan Kapolri (Mahkumjakpol), di Istana Negara, Selasa (4/5/2010). Melalui koordinasi yang lebih sinergis itu, diharapkan isu utama penegakan hukum dan keadilan bakal teratasi.

Pembentukan forum Mahkumjakpol tak pelak mendapat kritikan dari berbagai pihak, termasuk hakim agung Salman Luthan dan Ketua KY Busyro Muqoddas. Antara lain karena dinilai menghidupkan kembali forum Mahkejapol yang lebih kurang sama yang pernah eksis di masa pemerintahan Orde Baru. Pada intinya, kritikan diarahkan pada independensi pengadilan dan seolah-olah penegakan hukum dapat diselesaikan dengan musyawarah (Kompas, 9/12/1996). Forum Mahkejapol dulu pada tiap propinsi dikenal dengan Forum Diljapol (Pengadilan, Kejaksaan, dan Kepolisian).

Secara awal pembentukannya, Forum Mahkumjakpol tersebut bertujuan sebagai forum koordinasi dan konsultasi masalah-masalah administratif dalam penegakan hukum di keempat institusi tersebut.

Dalam kenyataannya, forum Mahkejapol tidak terlaksana secara berkesinambungan. Demikian pula forum Mahkumjakpol hingga hari ini kurang terdengar gebrakannya. Namun demikian, sedikit banyak forum-forum serupa ini pasti berdampak pada proses penegakan hukum baik di pusat maupun di daerah, setidaknya menginspirasi para aparat penegak hukum.

Kekeliruan

Pembentukan Mahkumjakpol setidaknya keliru dalam dua hal: pertama, tidak melibatkan unsur advokat dalam hal ini Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) sebagai salah satu unsur penegak hukum sesuai undang-undang. Sebab, jika konteksnya koordinasi dan konsultasi masalah administratif dalam penegakan hukum, sangat banyak hal urgen keterlibatan kalangan advokat dalam mengadvokasi kasus kliennya, sebut saja acap sulitnya aparat penyidik Kepolisian dan Kejaksaan memberikan berkas acara pemeriksaan (BAP), surat dakwaan, berkas perkara, dan lain sebagainya.

Akan lebih bagus lagi jika forum serupa ini tidak hanya harus ada unsur advokat di dalamnya, namun juga melibatkan unsur dari Komnas HAM dan unsur pengawasan (Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian).

Kedua, harusnya pengadilan (Mahkamah Agung) tidak masuk dalam forum demikian. Alasannya (i) pengadilan akan terlihat tidak independen walaupun forum itu sendiri hanya bersifat koordinasi dan konsultasi administratif, (ii) hakim akan rawan diintervensi dalam bentuk konsultasi bukan soal administratif tapi soal perkara oleh penyidik dan penuntut umum, sedangkan hakim yang akan menyidangkan perkara ybs, sehingga rawan kolusi dan konflik.

Mengapa pengadilan sebaiknya tidak berada seforum dengan aparat penegak hukum lain tanpa kehadiran lengkap seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum, adalah terutama demi menjaga independensi hakim dan pengadilan. Hakim bukan saja harus independen tapi juga harus kelihatan independen. Demikian digariskan kode etik universal hakim berdasarkan The Bangalore Principles of Judicial Conduct Tahun 2002.

Mengikat kesepakatan dalam sebuah forum bersama eksekutif yang berpotensi disidangkan oleh hakim, seperti juga forum Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida), jelas menunjukan hakim terlihat tidak independen. Begitupun menghadiri pertemuan dengan unsur penyidik dan penuntut umum tanpa kehadiran advokat, mempersepsikan hakim memihak penyidik dan penuntut umum, hakim dengan demikian kelihatan tidak independen atau tidak imparsial.

Dalam kenyataan di lapangan sehari-hari sering sekali ditemui dan terdengar aparat penyidik dan penuntut umum berkonsultasi terkait perkara (bukan soal administratif) kepada hakim di pengadilan, tanpa kehadiran pihak tersangka atau penasehat hukumnya (advokat). Biasanya, pertemuan demikian untuk mendapatkan pandangan hakim apakah suatu perkara layak atau tidak layak diteruskan proses penyidikannya. Opini hakim di sini dapat menjadi pedang bermata dua, yang berpotensi besar melahirkan kolusi dan konflik.

Ditambah dengan fakta bahwa sebelum perkara disidangkan hakim telah terlebih dahulu membaca berkas perkara, hakim baik sadar atau tidak akan cenderung terbangun pemikiran apakah seorang terdakwa bersalah atau tidak. Sehingga ketika terdakwa disidangkan, hakim yang telah menganggap terdakwa bersalah tersebut, misalnya, cenderung akan bersikap tindak, bertanya pada saksi-saksi, ahli dan terdakwa seolah-olah terdakwa telah bersalah sebelum vonis benar-benar dijatuhkan. Cenderung apriori. Tak sungkan menasehati terdakwa, seolah terdakwa telah divonis bersalah. Antitesis argumen hukum atau keberatan yang disampaikan pihak terdakwa dan penasehat hukumnya terlihat dan terkesan sebagai gangguan saja.

Jika hakim dan lembaga pengadilan sudah memihak, maka pilar sistem hukum negara demokratis sudah hancur berantakan. Benteng terakhir keadilan sudah roboh. Lembaga pengadilan telah bermetamorfose sebagai lembaga penghukuman.

Bubarkan saja

Ke depan, hakim seharusnya secara etika tidak lagi menerima tamu penyidik dan penuntut umum tanpa kehadiran pihak tersangka atau penasehat hukumnya. Selama ini agak aneh, hakim bebas saja menerima tamu penyidik dan penuntut umum, seperti juga dilakukan para Pimpinan KPK belum lama ini dengan Pimpinan MA, akan tetapi giliran advokat yang ingin bertemu ketatnya bukan main. Secara etika, advokat memang tidak etis menemui hakim tanpa kehadiran pihak lain dalam perkara, sama tidak etisnya dengan pertemuan sepihak aparat penyidik dan penuntut umum tersebut.

Apatah lagi jika hakim dan lembaga pengadilan sudah jelas membangun aliansi sepihak dengan unsur penyidik, penuntut umum dan lembaga pemasyarakatan, adalah sangat berbahaya bagi imparsialitas lembaga pengadilan. Karena itu, forum-forum semacam ini selayaknya dibubarkan saja.

Kalaupun mau membangun aliansi konsultatif dan administratif haruslah lengkap semua unsur penegak hukum: Kepolisian, Kejaksaan, dan Advokat. Hakim dan pengadilan tidak sepatutnya berada semeja di forum demikian dengan aparat penegak hukum yang perkaranya akan diperiksa oleh pengadilan. Jadi, unsur pengadilan sebaiknya dikeluarkan atau mundur suka rela dari forum-forum serupa Mahkumjakpol.(*)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun