Terdakwa terorisme Hisyam bin Ali Zein alias Umar Patek mengaku menyesal dan minta maaf. "Saya Hisyam bin Ali Zein mengungkapkan rasa penyesalan saya karena ikut andil dalam bom Bali meskipun sedikit," kata Umar kepada wartawan usai sidang tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Jalan S Parman, Jakarta Barat, sebagaimana dikutip Kompas, Senin (21/5/2012). Umar Patek dituntut Jaksa Penuntut Umum dengan pidana penjara seumur hidup.
Pernyataan maaf Umar ditujukan kepada keluarga korban, korban, pemerintah Indonesia, dan Pemerintah Bali. Ia juga meminta maaf pada seluruh umat Kristiani di Indonesia atas pemboman enam gereja yang dilakukannya pada malam Natal tahun 2000 silam.
Selain pemboman enam gereja dan bom Bali I tersebut, Umar Patek juga terlibat melakukan serentetan aksi terorisme yang meyakinkan: pelatihan militer di Afganistan, di Pakistan, di Filipina; punya koleksi banyak nama samaran; memalsukan dokumen imigrasi; menyuplai senjata bagi gerakan teroris; dan terlibat pelatihan teroris di Desa Jalin Kecamatan Jantho Kabupaten Aceh Besar, NAD, tahun 2010; kemudian melakuan pelarian ke Pakistan sampai ditangkap di Kota Abbottabad tanggal 25 Januari 2011.
Oleh Jaksa Penuntut Umum, Umar Patek didakwa melakukan perbuatan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 9 dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pasal 340 KUHP, Undang-Undang Darurat Tahun 1951, Pasal 266 KUHP, dan Pasal 55 Undang-Undang Imigrasi.
Memperhatikan rentetan aksi teror Umar Patek tersebut wajar mempertanyakan, Umar Patek sedang memainkan sekenario apa? Mengingat penyesalan dan permintaan maaf terjadi di persidangan. Sedemikian mudahkah seseorang yang ideologi terornya nampak begitu kuat dan terinternalisasi dalam dirinya lantas mengubah haluan ideologi dan menyesali semua perbuatan?
Kejahatan terorisme berbeda dengan pencurian. Pencurian biasanya didorong motif kebutuhan atau kerakusan. Sedangkan teroris didorong motif ideologi gerakan, yang dalam kasus Umar Patek Cs dispirit oleh nilai-nilai agama yang dipahami kelompoknya.
Jika Umar Patek mahir memisahkan aspek ideologis dan teknis dalam gerakannya, maka pertanyaan di atas menjadi relevan.
Dalam hubungan ini, setidaknya ada dua kemungkinan yang dimaksudkan Umar Patek dengan pernyataan menyesal dan maafnya itu: benar-benar mengakui salah atau hanya bersandiwara.
Bahwa pada tataran level teknis gerakan Umar dihadapkan pada situasi real yang menuntutnya fleksibel dan berkompromi. Ia sekarang ditahan dan disidangkan, nasibnya dipertaruhkan di ujung palu hakim. Maka, menunjukan penyesalan dan minta maaf adalah pilihan pragmatis yang paling realistis.
Sedangkan dalam tataran ideologi gerakan yang dianutnya, bahkan hakim pun tidak akan bisa memastikan seratus persen bahwa Umar Patek sudah taubat nasuha. Hanya Tuhan dan Umar Patek sendiri yang tahu persis. Karena itu, khususnya bagi hakim dan umumnya umat manusia, pertaruhan putusan kelak akan sangat menentukan kalau tidak disebut mengerikan.
Jika hakim mempercayai pengakuan sepihak Umar Patek, yang tentu saja tidak dibawah sumpah karena ia seorang terdakwa, maka bisa jadi Umar Patek akan dipidana lebih ringat atau kurang dari pidana seumur hidup. Hakim mungkin masih memberi ruang kesempatan kedua untuk bertobat dan memperbaiki diri. Masalah apakah ideologi teror sudah ditinggalkan atau belum biarlah waktu yang akan menjawabnya.