Mungkin ada yang belum tahu bahwa pengemisan di tempat umum merupakan tindak pidana. Lebih tepatnya, pengemisan merupakan tindak pidana berkategori pelanggaran, sebagaimana diatur dan diancam pidana kurungan tiga bulan bagi pelakunya (Pasal 504 KUHP).
"Barangsiapa mengemis di muka umum, diancam karena melakukan pengemisan dengan pidana kurungan paling lama enam minggu," tegas Pasal 504 ayat (1) KUHP. Kemudian dilanjutkan, "Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang berumur di atas enambelas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan", bunyi Pasal 504 ayat (2) KUHP.
Dalam sejarahnya pasal pengemisan di atas telah diterapkan sejak jaman Hindia Belanda dahulu. Tercatat ada beberapa putusan Mahkamah Agung Hindia Belanda (Hoge Raad/HR) pada waktu itu. Antara lain putusan HR tanggal 22 Juni 1947 yang dalam pertimbangannya menyatakan, mengemis di tempat suatu biara, yang melakukan tugas kemanusiaan tidak menghilangkan sifat mengemis dari perbuatan itu.
Konteks putusan HR di atas relevan dengan modus pengemisan di rumah ibadah, misalnya mengemis di Masjid, Gereja, atau Vihara. Acap ditemui para pengemis berdiri di halaman atau lorong rumah ibadah. Ironisnya, pengemis ini bahkan tidak ikut beribadah, hanya mengemis saja.
Ada pula pengemis bermodus standar datang ke rumah-rumah atau warung-warung dengan membawa-bawa surat pengantar, entah benar atau tidak surat itu, dari yayasan anu, mushola anu, masjid anu. Mereka nampak sangat profesional!
Modus pengemis mendatangi rumah-rumah pernah diputus sebagai tindak pidana oleh HR tanggal 26 Juni 1893. Dalam pertimbangannya, HR menyebutkan bahwa termasuk mengemis ialah menunjukkan surat ngemis pada rumah-rumah yang dapat dilihat dari jalan umum.
Ada lagi modus stadar para pengemis tua atau kakek-nenek untuk memberi efek penghibaan pada masyarakat. Ini pun merupakan tindak pidana dan pernah diputus oleh HR tanggal 27 Juni 1887. Dalam pertimbangan putusannya HR menyatakan bahwa daya paksa pada pengemis tidak dapat diterima dengan alasan bahwa pelaku telah berusia 75 tahun dan sudah jompo, tidak dapat memenuhi kebutuhannya dengan bekerja dan dari pengurus kemiskinan hanya menerima sokongan 50 sen setiap minggu.
Jelaslah bahwa pengemisan merupakan tindak pidana, perbuatan tak terpuji, perbuatan tercela. Hanya saja pasal pengemisan di atas dalam praktik banyak disimpangi atau tidak diterapkan oleh aparat hukum. Di sini aparat melakukan apa yang dalam hukum administrasi negara disebut "diskresi" untuk tidak menerapkan pasal pengemisan berdasarkan pertimbangan tertentu. Namun bukan berarti pasalnya dihapuskan, tidak, masih tetap berlaku hingga saat ini.
Dunia perpengemisan kembali menghangat belakangan ini tak terlepas dari demo para pengemis di Kota Bandung yang menuntut Walikota mempekerjakan mereka dengan gaji Rp 10 juta. Dalam kesempatan lain ada pula pengemis tua yang terkena razia dan ditemukan uang Rp 7 juta di dalam tasnya, hasil dari mengemis selama dua hari. Ini semua indikasi tingginya pengasilan pengemis profesional di kota-kota besar.
Mengemis bukan saja merupakan tindak pidana, tetapi juga merendahkan derajat manusia, dan merusak pemandangan kota. Tidak heran banyak sekali riwayat bagaimana tokoh-tokoh dunia kampanyekan untuk bekerja semampunya, bekerja apapun yang penting halal. Boleh mengemis dengan syarat yang ketat.
***