DIKISAHKAN, Raja Sulaiman (975-935 SM), Raja dari segala mahluk, mendapat upeti berupa 420 talenta emas dari Hiram, Raja Tirus, sebuah negeri di Selatan Libanon saat ini. Ke-420 talenta emas tersebut berasal dari Negeri Ofir (Ophir) di Pulau Swarnadwipa (Pulau Emas), yang kelak dikenal dengan nama Pulau Sumatera.
Di Negeri Ophir itulah terdapat sebuah gunung yang dinamai Gunung Ophir (Gunung Emas), kelak dikenal pula dengan nama Gunung Talamau dengan ketinggian 2.920 mdpl (di altimeter saya 2.955 mdpl), sebuah gunung tertinggi di Sumatera Barat, atau dahulu zaman penjajahan Belanda hingga Jepang, bahkan sampai tahun 1947, disebut Onder Afdeling Ophir yang dikepalai Controleur (semacam bupati), yang terdiri dari Distrik Talu dan Air Bangis.
Di puncak 2.920 mdpl
Nah, gunung itulah yang saya dan teman-teman daki pada hari itu, tepatnya hari ke-16 sampai hari ke-18 di bulan April tahun 2016. Sebuah pendakian yang sangat melelahkan, tetapi terbayar lunas dengan suguhan keindahan khas hutan tropis sepanjang perjalanan sampai panorama puncak yang aduhai.
Sesampai di puncak, hari Minggu siang, 17 April 2016, suasana begitu tenang dan damai. Hening. Ketika menahan nafas hanya terdengar detak jantung kami bertiga dan semilir angin gunung yang dingin. Memang hanya kami bertiga yang mendaki hari itu. Nun di bawah sana terhampar pemandangan telaga-telaga Talamau yang nampak kecil. Disebut-sebut ada 13 telaga, tapi yang nampak hari itu hanya 7 telaga saja, barangkali sisanya sudah tertutup semak-semak.
Tak lama kemudian kami turun ke Telaga Puti Sangka Bulan, saya lebih suka menyebutnya Ranu Puti Sangka Bulan. Diantara ke-13 telaga di gunung Talamau, telaga Puti Sangka Bulan-lah yang terbesar, bolehlah disebut danau (ranu). Di tepian sebelah Barat Ranu Puti Sangka Bulan ada area cukup kering untuk mendirikan beberapa tenda.
Sebelum muncak tadi, yang muncaknya hanya butuh waktu sekitar 20 menit dari Ranu Puti Sangka Bulan, kami telah istirahat duduk-duduk di tepian Ranu Puti Sangka Bulan sambil menikmati keindahannya. Karenanya saat turun kami tidak berhenti lagi di tepian danau ini, melainkan langsung turun ke Pos Peninjauan, tempat tenda kami berada.
Area Pos Peninjauan sendiri tidak terlalu luas. Paling banter mampu memuat lima tenda ukuran sedang. Namun pemandangan dari Pos Peninjauan sangatlah indah. Dari pos ini terbentang pemandangan pantai, Kota Simpang Empat, bukit yang berlapis-lapis, Talu, Air Bangis dll. Pada malam hari pemandangan di bawah terlihat seperti kerlap-kerlip lampu kapal Titanic! Konon zaman penjajahan Belanda dan Jepang di sini tempat pelarian pengungsi, posisinya pas untuk memantau pergerakan pasukan Belanda dan Jepang dari arah bawah. Barangkali karena alasan inilah maka disebut "Pos Peninjauan".