[caption id="attachment_193840" align="aligncenter" width="475" caption="Hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Pontianak, Heru Kusbandono usai menjalani pemeriksaan oleh KPK, di Kejati Jawa Tengah, Semarang, (17/8). Foto: ANTARA/R. Rekotomo, Sumber: tempo.co"][/caption] Sumber tempo.co menyatakan, hakim yang ditangkap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kartini Marpaung, adalah salah satu hakim Pengadilan Tipikor Semarang yang kerap mendapatkan sorotan negatif. Bersama dua koleganya, Lilik Nuraini dan Asmadinata, Kartini adalah majelis hakim yang mengeluarkan vonis bebas terhadap lima terdakwa kasus korupsi. Dari tujuh terdakwa yang bebas, lima di antaranya keluar berkat palu trio hakim tersebut. Meskipun trio itu kerap mengeluakan vonis bebas, tapi baru Lilik yang diberi tindakan. Lilik dipindahkan ke Sulawesi. Sedangkan Kartini dan Asmadinata belum diberi tindakan apa-apa. Disorotnya hakim Tipikor yang membebaskan terdakwa korupsi bukan kali ini saja. Sudah sering terjadi, sebut saja di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Bandung dan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Padang. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mencatat dalam kurun 6 bulan terakhir hingga Juli 2012, ada 7 terdakwa perkara korupsi yang dibebaskan oleh hakim Pengadilan Tipikor Padang. Contohnya dalam perkara korupsi vaksinasi flu burung di Kabupaten 50 Kota dan kasus korupsi STAIN Bukittinggi. Pada contoh pertama di atas, letak masalah pada hakim telah terbukti. Hakim Kartini Marpaung dan Heru Kusbandono telah ditangkap tangan oleh KPK, sedangkan hakim Lilik telah diberi sanksi tindakan berupa pemindahan ke Sulawesi. Dengan demikian, korelasi antara tindakan tidak terpuji dengan pembebasan terdakwa perkara korupsi cukup signifikan. Sementara itu, pada contoh kedua, indikasi adanya permainan perkara dalam pembebasan 7 orang terdakwa perkara korupsi oleh hakim Pengadilan Tipikor Padang, belum mendapat legitimasi faktual apakah disertai suap atau tidak. Disinilah pentingnya pemantauan terus-menerus terhadap hakim-hakim bersangkutan. Kedua contoh di atas cukup memberi sekilas gambaran bagaimana sorotan negatif dari publik yang terefleksi dari pemberitaan media massa, menyangkut dibebaskannya terdakwa perkara korupsi oleh hakim Pengadilan Tipikor. Kuatnya pemberitaan demikian berpotensi membentuk opini publik bahwa setiap terdakwa perkara korupsi memang harus dihukum (tidak boleh dibebaskan). Apakah terdakwa ybs terbukti bersalah atau tidak di pengadilan sehingga sampai vonis pembebasan atau pemidanaan, publik menjadi kurang perhatian lagi. Pokoknya, atas nama terdakwa kasus korupsi harus dihukum (tidak boleh dibebaskan). Padahal, tidak setiap terdakwa perkara pidana apapun, termasuk perkara korupsi, otomatis harus dihukum pada saat perkaranya sudah masuk ke pengadilan. Jika terbukti bersalah baru terdakwa dihukum. Sebaliknya, jika tak terbukti bersalah ya terdakwanya dibebaskan atau dilepaskan. Hakim hanya punya dua pilihan itu: menghukum atau membebaskan/melepaskan. Rendahnya kepercayaan publik pada integritas moral aparatur pengadilan diyakini mengakibatkan pandangan miring terhadap pembebasan terdakwa korupsi. Seolah tiap pembebasan terdakwa demikian selalu disertai suap. Pada beberapa kasus (kasuistis) memang terbukti ada suap. Pada kasus-kasus lain justru murni atas alasan hukum. Namun yang jelas, perang hakim sebagai pengadil otomatis terdistorsi dengan sendirinya pada saat hakim ybs menerima suap dan melakukan pelanggaran kode etik. Dalam keadaan demikian hakim tidak lagi memiliki legitimasi moral untuk mengadili suatu perkara. Ia telah memihak pada si pemberi suap. Aturannya jelas, hakim tidak boleh melakukan perbuatan tercela atau memihak dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. Putusan yang membebaskan terdakwa dalam keadaan ini otomatis putusan yang sesat, sekalipun memang terdakwa tidak terbukti bersalah. Sangat penting mendudukkan peran hakim secara proporsional, yakni sebagai pengadil. Maka itu lembaganya disebut 'pengadilan', bukan 'penghukuman'. Tidak setiap terdakwa wajib dihukum, sama juga tidak setiap terdkawa wajib dibebaskan. Semua tergantung pembuktian. Ini dengan asumsi proses pengadilan berjalan profesional dan bebas dari anasir korupsi, kolusi dan nepotisme. Sangat berbahaya memaksa hakim seolah-olah sebagai elemen pemberantasan korupsi. Hakim bukan aparatur pemberantasan korupsi. Hakim adalah pengadil. Pemberantas kejahatan seperti korupsi dibebankan oleh sistem hukum pada institusi penyidik dan penuntut umum, dalam hal ini kepolisian, kejaksaan dan KPK. Memposisikan hakim sebagai elemen pemberantas korupsi sama artinya mendudukkan hakim dalam posisi yang memihak, dalam hal ini memihak penyidik dan jaksa. Hakim tidak boleh memihak. Putusannya semata-mata Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hakim hanya bertanggung jawab atas putusannya kepada hukum dan kepada Tuhan.[] ----------------------- Sumber berita: - tempo.co. 1 dan 2 - waspada.co.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H