[caption id="attachment_193545" align="aligncenter" width="460" caption="salon.com"][/caption] Kehebohan isu SARA dalam Pilkada Jakarta 2012 menguatkan kembali diskusi tentang relevansi partai agama di Indonesia. Salah satu poin menarik disampaikan di sini adalah, partai-partai yang berasaskan agama seperti PKS, PPP, PKB, PBR, PBB, PKNU, dan PDS terbukti sudah kehilangan relevansi di Indonesia. Sebenarnya, ketiadaan relevansi partai agama demikian telah terjadi sejak tanggal 17 Agustus 1945 atau sejak Indonesia diproklamirkan dengan dasar negara Pancasila, yang disusul pengesahan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945. Hanya saja partai-partai agama tersebut tertutup mata-nalarnya. Tarok kata partai-partai agama tersebut berhasil mendudukkan wakilnya mayoritas di parlemen (DPR/DPRD), apakah bisa sistem politik dan hukum publik otomatis diubah jadi berlandaskan syariat formal agama? Tidak bisa. Karena Indonesia bukan negara agama. Paling-paling hanya bisa mengusulkan nilai-nilai universal agama dalam lapangan hukum publik pidana dan ketatanegaraan. Kalau ini ceritanya, partai nasionalis juga bisa. Lah, kalau begitu apa beda partai agama dengan partai nasionalis atau nasionalis-religius? Jawabannya, sama saja. Ketika partai agama dan partai nasionalis duduk di parlemen maka mereka semua harus tunduk pada sistem hukum Pancasila. Tidak mentang-mentang partai Islam menguasai mayoritas kursi di parlemen lantas perundangan yang dibuat semuanya menjadi hukum Islam. Tidak. Begitupun partai Kristen. Tarok kata partai Kristen memenangkan mayoritas kursi parlemen (ini nyaris mustahil), tidak lantas bisa mengubah sistem hukum Pancasila menjadi hukum Kristen (!). Apalagi, sejak UUD 1945 diubah empat kali periode 19 Oktober 1999 s/d 10 Agustus 2002, celah untuk mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi, misalnya, Negara Khilafah Islam adalah sama sekali tertutup. Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 tegas menyatakan, khusus tentang bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan. Begitupun dasar negara Pancasila dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, juga sama sekali tidak bisa diubah. Kalau begitu, jelaslah bahwa partai-partai agama itu tak ada relevansinya sama sekali. Kedudukan partai agama de facto sama saja dengan partai nasionalis kebanyakan. Tak beda sedikit pun. Jubahnya saja yang beda, esensi de facto sama saja. Dari banyak partai agama, PKS adalah diantara partai yang sedikit menyadari realitas demikian. PKS segera mentransformasikan dirinya menjadi partai inklusif atau terbuka pasca Mukernas Bali, Februari 2008. Dengan transformasi dari ekslusif jadi inklusif demikian, maka sekarang PKS dapat menerima kader non-muslim duduk di parlemen. Karena itu, berhentilah berharap banyak pada partai agama. Karena mereka itu hakikatnya sama saja dengan partai nasionalis. Jubahnya saja yang berbeza.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H