Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Politik

Masa Depan Negara Sekuler Indonesia

31 Januari 2014   15:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:17 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13911578391685864233

[caption id="attachment_293166" align="alignnone" width="600" caption="www.latinamericastudies.org - Peta Indonesia"][/caption] Takdir sejarah telah menggariskan Indonesia menjadi negara sekuler. Founding Fathers Indonesia dengan cerdas mencoret frase "...dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" sila ke-1 Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, yang tersebut dalam Piagam Jakarta, diganti dengan frase "Ketuhanan Yang Maha Esa", yang disepakati dalam sidang PPKI, tanggal 18 Agustus 1945. Gagallah Indonesia menjadi negara berlandaskan syariat Islam. Kesepakatan para Pendiri Bangsa demikian realistis dengan peta sosiologis Indonesia. Sekalipun syariat Islam tersebut hanya ditujukan pada umat Islam saja, akan tetapi ketentuan demikian diskriminatif dicantumkan dalam undang-undang dasar, karena undang-undang dasar mestilah mengayomi dan diperuntukkan buat negara dan semua anak bangsa, bukan menganakemaskan umat Islam saja. Fakta sosiologis memperlihatkan Indonesia terdiri dari banyak agama dan aliran agama. Bahkan Islam saja terdiri dari berbagai warna aliran, mulai dari Sunni, Syiah, Ahmadiyah, dll. Begitupun Katolik, Protestan, Budha dan Hindu. Dalam hubungan ini, semua warga negara harus berkedudukan setara, tak boleh dianakemaskan karena suku, agama, ras dan antar golongan. *** Waktu terus berlalu. Perjuangan gerakan Islam syariat belum benar-benar pupus. Kali ini mereka berjuang dengan memanfaatkan Badan Konstituante, yang bertugas merumuskan UUD pengganti UUDS 1950, yang mulai bersidang tanggal 10 November 1950. Sialnya, hingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kaum Islam syariat seperti Masyumi dll masih gagal mengembalikan Piagam Jakarta ke dalam naskah UUD. Sampai kemudian Sukarno mengembalikan UUD 1945 versi 18 Agustus 1945 (tanpa Piagam Jakarta) dengan Dekrit itu. Kaum islamis atau gerakan Islam syariat tetap belum bisa menerima. Dengan berbagai cara mereka menolak dan memberikan argumen penolakan terhadap UUD 1945 (tanpa Piagam Jakarta) tersebut, antara lain dengan mengatakan bahwa UUD 1945 yang di-Dekrit-kan Sukarno adalah UUD 1945 yang ada Piagam Jakarta-nya. Sebagian bergerak di jalur damai. Sebagian lagi merasa frustasi lalu mengobarkan pemberontakan untuk membentuk Negara Islam Indonesia (NII), yang diproklamirkan 7 Agustus 1949 oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, yang kemudian menyebar ke Aceh, Sumbar, Sumsel, Sulsel, dan Kalimantan. Pemberontakan kalangan Islam syariat tak mendapatkan dukungan luas dari masyarakat Indonesia. Mereka terdesak oleh gempuran tentara pemerintahan Sukarno. Hingga akhirnya tamat tak bersisa pasca ditangkapnya pimpinan mereka. Apakah sel-sel perjuangan mereka habis? Tidak. Gerakan bersenjata memang habis. Tapi gerakan politik dengan memanfaatkan mekanisme demokrasi, belum padam. **** Berpuluh tahun kemudian momen gerakan Islam syariat kembali hadir. Pasca tumbangnya rezim Soeharto (Orde Baru) berganti Orde Reformasi, bangsa Indonesia merasa perlu mengamandemen UUD 1945, yang diyakini sebagai biang masalah konstitusional kekuasaan otoriter Soeharto yang bertahan hingga 31 tahun lamanya. Di momen inilah kaum Islam syariat kembali hadir. Sejarah mencatat PPP dan PBB, dua partai Islam waktu itu, memunculkan aspirasi pengembalian Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945 hasil amandemen. Namun aspirasi ini gagal karena ditolak mayoritas anggota MPR/DPR RI. Ketua Umum PBB Prof Dr Yusril Ihza Mahendra nampak belum ikhlas dengan kesepakatan mayoritas tersebut. "Kita akan terus memperjuangkan agar Piagam Jakarta-yang merupakan hasil dialog golongan nasionalis dan Islam-masuk dalam UUD 1945 baik sekarang maupun yang akan datang. Namun, kita akan memperjuangkan hal itu melalui cara-cara demokratis, sah, dan konstitusional," kata Yusril pada perayaan Milad PBB di Stadion Utama Glora Bung Karno, Jakarta, Minggu, 24 Agustus 2003 (Kompas, 25/8/2003, h. 6) Pertanyaannya adalah, mengapa kaum Islam syariat selalu belum puas dengan keadaan ketatanegaraan Indonesia saat ini? Iya, karena negara Indonesia tidak berdasarkan syariat Islam. Indonesia adalah negara sekuler. Memang disebutkan "Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945. Akan tetapi hal ini bukan berarti Indonesia menjadi negara agama. Tidak. Itu hanya normatif UUD 1945 di atas kertas saja. Kenyataannya, struktur hukum dan ketatanegaraan Indonesia murni sekuler. Adanya Kementerian Agama (Kemenag) tidaklah menjadikan Indonesia lantas bisa disebut negara agama. Pasalnya, eksistensi Kemenag tersebut dilandaskan pada aturan-aturan hukum buatan manusia (baca: bukan hukum buatan Allah). Implementasi kerja Depak juga dalam rangka melaksanakan aturan-aturan buatan manusia. Suatu ciri aturan sekuler. Singkat kata, semua aturan hukum bernegara di Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga saat ini, adalah aturan hukum buatan manusia, mulai dari pusat hingga daerah: UUD 1945, UU, PP, Permen, Perda, dll. Perda-perda syariat pun, sebenarnya, bukan hukum buatan Allah, melainkan hukum buatan manusia. *** Atas tiga kegagalan perjuangan kalangan Islam syariat di atas---18 Agustus 1945, 5 Juli 1959, dan momen empat kali amandemen UUD 1945 (1999, 2000, 2001, dan 2002)---memaksa mereka mengubah metode perjuangan. Jika sebelumnya fokus mengubah Indonesia jadi negara syariat "dari atas" (UUD), sekarang lebih difokuskan "dari bawah" (di daerah-daerah) dengan menunggangi semangat otonomi daerah. Maka, dibuatlah aneka peraturan daerah (Perda) syariat di mana-mana, mulai dari Jabar, Sumbar, Sulsel, hingga Aceh. Harapannya, syariatisasi negara akan berhasil mulai dari bawah, mengepung, hingga total se-Indonesia Raya. Di beberapa daerah muncul Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI). *** Kalangan pergerakan Islam syariat nampak sangat bernafsu mengubah Indonesia menjadi negara Islam atau setidaknya berlandaskan syariat Islam. Mereka mendompleng demokrasi. Ada yang sepenuhnya mendompleng demokrasi seperti dilakukan PKS, PPP, dan PBB. Ada juga yang berjuang di luar sistem demokrasi (kepartaian), tapi mendompleng kebebasan berekspresi yang dijamin demokrasi, sebut saja Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Namun mereka bertemu pada satu hal: Islam syariat. Mereka nampak sangat berharap akan "mengubah Indonesia" melalui prosedur demokrasi lima tahunan (pemilu). Namun takdir sejarah kelihatannya belum memihak mereka. Berbagai skandal hukum para tokoh puncak partai berbasis perjuangan syariat Islam membuka mata publik. Bahwa dalam ranah politik yang serba pragmatis, kalangan Islam syariat bahkan sama sekulernya dengan kalangan nasionalis. Namun secara analisa SWOT kalangan gerakan Islam syariat tetap memiliki peluang yang baik menyariatkan Indonesia. Hal ini terutama dari fakta bahwa mayoritas warga Indonesia beragama Islam. Ancamannya juga tak kalah serius seperti telah terbukti dalam garis sejarah. Apakah gerakan Islam syariat akan berhasil mengubah negara sekuler Indonesia menjadi Negara Islam, khilafah, atau NKRI berlandaskan syariat Islam adalah sangat tergantung pada dialektika politik di Indonesia sendiri. Sebab Indonesia negara demokrasi sehingga semua orang boleh menyuarakan aspirasi politiknya dan rakyatlah (dalam sistem politik) penentu akhirnya. (Sutomo Paguci)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun