[caption id="attachment_204552" align="aligncenter" width="300" caption="Repro Sutomo Paguci"][/caption] Pada era supremasi militer zaman rezim Soeharto dulu tak terbayang kasus demo besar-besaran khususnya kalangan jurnalis terhadap otoritas TNI AU. Seperti kejadian jatuhnya pesawat Sky Hawk 200 di Pekanbaru yang disusul aksi pemukulan dan pencekikan oknum TNI AU kepada sejumlah wartawan, Selasa (16/10/2012). Dulu mana berani kritik tentara sekeras saat ini. Bisa-bisa malamnya langsung hilang karena dituduh subversi. Pasalnya, sipil dikondisikan dibawah militer. Kini kebalik, militer di bawah sipil. Supremasi sipil. Inilah alam demokrasi. Namun sisa-sisa dwifungsi dan supremasi militer masih kentara. Aroma arogansi pihak otoritas tentara masih kentara sebagaimana luas pemberitaan terkait pembelaan diri mereka. Sudah jelas-jelas mencekik warga masih merasa benar. Coba, makan gaji dari pajak rakyat saja tapi kelakuan kayak gitu. Dulu sih masih mending. Dulu hukum di tangan penguasa, termasuk militer. Sekarang beda. Hukum di tangan hukum. Supremasi hukum. Patokan bertindak interaksi sipil-militer dalam alam demokrasi adalah sama. Hukum. Siapapun sama di mata hukum. Akan sangat aneh jika oknum Letkol Robert Simanjuntak yang menganiaya wartawan Riau Pos, Didik, tersebut dibiarkan tanpa tersentuh hukum. Kalau begini ceritanya, ya, kasihan bener si Nikita Mirzani yang dijebloskan ke tahanan karena disangka menganiaya orang. Lah, apa bedanya Nikita Mirzani dengan Letkol Robert Simanjuntak di mata hukum? [caption id="attachment_204893" align="aligncenter" width="409" caption="Nikita Mirzani sesaat setelah mentato dadanya dengan laser. Foto @NikitaMirzani"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H