Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 79/PUU-IX/2011 yang dibacakan hari Selasa tanggal 5 Juni 2012 kemaren, Wakil Menteri (Wamen) dinyatakan sebagai jabatan politis anggota Kabinet atau bukan jabatan karir. Penjelasan Pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 tentang Kemeneterian Negara yang memuat norma Wamen sebagai jabatan karir dan bukan anggota kabinet dinyatakan inkonstitusional. Apa kemungkinan komplikasi atau kerumitan terkait kedudukan baru dari Wamen tersebut?
Pertama, tentu Presiden harus membuat Keppres pengangkatan 20 Wamen baru dengan membatalkan Keppres yang lama, dengan menyesuaikan materi muatan Keppres baru tersebut agar sesuai dengan Putusan MK. Pada intinya, Keppres tersebut akan memuat norma bahwa Wamen adalah anggota Kabinet.
Kedua, dengan kedudukan baru Wamen sebagai anggota Kabinet akan timbul masalah baru. Yakni, bagaimana dengan penggajian Wamen ini? Otomatis harus ada revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur penggajian Menteri, dengan memasukan Wamen sebagai anggota Kabinet tersebut.
Keadaan ini tentu makin tidak membahagiakan bagi rakyat pembayar pajak, sebagaimana nafas dari permohonan Pemohon pengujian UU No 39 Tahun 2008 tersebut, yaitu keberatan atas pemborosan uang negara (APBN) untuk penggajian, pemberian berbagai fasilitas, dan tunjangan kepada anggota Wamen yang mencapai total Rp.1,8 triliun lebih per tiga tahun. Hal ini jika diasumsikan Presiden mengambil opsi penggajian dan fasilitas Wamen disetarakan pejabat struktural Eselon IA.
Jika Presiden mengambil opsi penggajian lain dari pejabat struktural Eselon IA, ini supaya kedudukan Wamen nampak lebih tinggi dari Sekjend dan Dirjen sebuah Kementerian, tentunya gajinya harus lebih tinggi dari pejabat struktural Eselon IA, otomatis keadaan ini makin tambah tidak membahagiakan para pembayar pajak. Dengan skema ini, sudah barang tentu gaji 20 orang Wamen tersebut akan melebihi estimasi Rp.1,8 triliun per tiga tahun. Lebih boros lagi jadinya.
Sebenarnya, roh utama permohonan Pemohon dalam perkara ini selain soal pemborosan anggaran negara dalam APBN, juga mempersoalkan urgensi substansi dari kedudukan Wamen itu sendiri yang de facto tugas-tugasnya sebenarnya bisa dilakukan oleh pejabat setingkat Dirjen. Hal ini jika berkaca pada kedudukan Kementerian sebelum adanya Wamen.
Ketiga, dengan memposisikan kedudukan Wamen sebagai anggota Kabinet yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden tersebut, maka berpotensi tercipta "matahari kembar" di Kementerian bersangkutan. Sekalipun Wamen itu hanyalah berkedudukan sebagai Wakil, akan tetapi keduanya (Menteri dan Wamen) sama-sama diangkat dan diberhentikan presiden. Mekanisme sebelum pengangkatan juga sama, yakni sama-sama melalui fit and proper test. Alih-alih menaikan kinerja Kementerian, ini malah berpotensi kontraproduktif.
Dengan demikian, putusan MK tersebut selain membongkar kelemahan substansi dari kedudukan Wamen, juga sekaligus membongkar kelemahan proses perancangan hukum (legal drafting) pemerintah dan legislatif. Karena itu, supaya hal ini tidak terjadi lagi di kemudian hari, harus ada koreksi total pada mekanisme dan profesionalitas para perancang hukum di lembaga pemerintah dan legislatif. Jangan sampai terjadi atau setidaknya seminimal mungkin (tidak seperti saat ini) undang-undang tiap sebentar dinyatakan inkonstitusional oleh MK. Implikasinya ya pemborosan keuangan negara lagi. Sebab untuk merumuskan atau merevisi suatu undang-undang dibutuhkan tidak sedikit biaya yang bersumber dari APBN.
Bisa jadi saat membaca pertimbangan putusan MK yang nampak begitu jernih dan terkesan mengakomodir aspirasi semua pihak tersebut, Presiden akan pusing. Paling kurang dipusingkan antara menerbitkan revisi Keppres baru pengangkatan Wamen, atau melakukan moratorium dulu kedudukan Wamen menunggu kajian akademis yang lebih komprehensif.
Moratorium pengangkatan Wamen perlu dipertimbangkan. Harus ada kajian akademis yang objektif dan bisa dipertanggung jawabkan terlebih dahulu sebelum memutuskan apakah akan mengangkat Wamen atau meniadakan kedudukan Wamen.
Sekalipun kedudukan Wamen memiliki pijakan legalitas dalam Pasal 10 UU No 39 Tahun 2008, akan tetapi Presiden tidak wajib mengambil opsi pengangkatan Wamen tersebut. Toh tugas-tugas Wamen pada intinya selama ini terbukti dapat dilakukan oleh pejabat struktural setingkat Dirjen.[]