[caption id="attachment_197097" align="aligncenter" width="512" caption="Kapolri Timur Pradopo/sergapntt.com"][/caption] Kapolri mengusulkan relokasi umat Syiah di Sampang pasca bentrok, Minggu (26/8) siang. Usulan ini disampaikan dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, Senin (3/9) kemaren. Kontan usulan Kapolri tersebut ditolak oleh berbagai pihak. Tidak terkecuali anggota partai pemerintah, Demokrat dan Golkar. Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Saan Mustopa berpendapat bahwa dalam menyelesaikan kasus di Sampang, Madura, bukan melalui upaya relokasi seperti yang diusulkan Kapolri. Demikian pula halnya dengan politisi Golkar sekaligus Wakil Ketua MPR RI, Hadjriyanto Tohari menyampaikan ketidak setujuannya terhadap usulan Kapolri yang ingin merelokasi warga Syiah di Sampang, Madura. Tidak terkecuali cendekiawan muda NU, Zuhairi Misrawi, juga berpandangan sama. Menolak relokasi Syiah Sampang. "Saya NU dan berpandangan Syiah tidak sesat. Saya pun tidak setuju relokasi warga Syiah Sampang," kata penulis buku Alquran Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalismeini melalui kicauan di Twitter (@zuhairimisrawi). Oke. Itu kata orang-orang. Bagaimana kata konstitusi UUD 1945 yang nota bene aturan dasar normatif tertinggi di Negara Republik Indonesia? Ternyata UUD 1945 juga menolaknya. "Setiap orang bebas...memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali," kata Pasal 28E ayat (1) UUD 1945. Artinya, adalah hak konstitusional umat Islam Syiah di Sampang untuk tinggal di sana. Negara harusnya melindungi Syiah, bukan malah menyusahkannya. Negara mestinya menindak tegas para perusuh, bukan malah melindunginya, menyenangkan hatinya, dengan tawaran merelokasi si "musuh". Negara di sini bisa diartikan Kapolri. Haruslah diingat bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah [Pasal 28I ayat (4) UUD 1945]. Kapolri bisa dikatakan menjalankan fungsi negara dan pemerintah. Jadi, tidak boleh seolah 'nyerah' begitu. Merelokasi adalah pekerjaan paling mudah, siapa pun bisa melakukannya, bahkan tanpa keterlibatan pemerintah. Ini nih kebiasaan jelek, cari yang mudah dan melanggar konstitusi. Ada seratus orang yang bikin rusuh, tangkap seratus orang itu! Ada seribu orang yang bikin rusuh, tangkap seribu orang itu! Ada satu juta yang rusuh, tangkap satu juta orang itu! Jangan korban yang dikorbankan. Mau dikemanakan dengan harta mereka, ikatan sosial mereka, ikatan batin mereka dengan tanah tempat mereka lahir. Mau dikemanakan?! Ini saja bukan pertanyaan prinsipil. Yang prinsipil adalah, relokasi tersebut, apalagi tanpa persetujuan dan keikhlasan warga Syiah sampang, merupakan pelanggaran konstitusi yang nyata. Cukuplan ustad Tajul Muluk yang sudah jadi korban tapi malah dikorbankan lagi. Pesantrennya dibakari warga, eh, malah yang punya pesantren (ustad Tajul Muluk) yang dipenjara lebih lama (2 tahun), dibandingkan warga yang membakar pesantren (cuma kena pidana 3 bulan). Kalau begini, wajar bertanya keheranan: ini hukum apaan?!
Komisi III DPR RI jangan diam saja. Tegur keras Kapolri ini. Kapan perlu anggaran Polri tahun 2014 mendatang dikurangi. Masak kinerja begini mau naik anggaran lagi tiap tahun. Selain itu, presiden bisa ditekan dengan fungsi anggaran dan pengawasan, supaya tegur keras di Kapolri ini, kapan perlu copot.[]
--------------- Referensi: Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pedomannews.com, Demokrat: Relokasi Upaya Terakhir -------------, Hajriyanto Tak Setuju Usulan Kapolri Soal Relokasi Warga Syiah di Sampang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H