Politik Jokowi soal cawapres: belum terbuka siapa, selalu bilang ada lima, mengerucut jadi tiga calon, hingga nanti jadi satu calon. Padahal, dugaan saya, cawapres Jokowi sudah dikantongi sejak lama: Jusuf Kalla. PDIP dan Jokowi sekedar buying time saja biar konstalasi politik tetap cair, enak, dan memberi harapan bagi banyak orang.
Itulah Jokowi. Ia 10 langkah di depan dibanding pesaing-pesaingnya. Di saat para pesaing masih sibuk mencari teman koalisi demi mencukupi suara supaya bisa ajukan capres, kubu Jokowi malah sudah berpesta pora permainan sensasi-massa penentuan cawapres dan kabinet kerja---lihat, seolah-olah mereka sudah menang.
Soal jumlah suara atau kursi sebagai syarat pencapresan, PDIP sudah selesai. Suara PDIP tanpa koalisipun sudah memadai untuk mengajukan capres sendiri. Makanya Puan Maharani kepedean lakukan manuver cawapres dari internal PDIP sendiri, hal mana nampaknya tak direspon Jokowi.
Sekalipun perolehan suara PDIP berdasarkan hitung cepat berkisar 19%, namun PDIP berhasil memperoleh suara cukup signifikan di dapil-dapil Indonesia barat, tengah dan timur yang harga per kursinya tidak sebesar di pulau Jawa. Selain bahwa di pulau Jawa pun PDIP jadi pemenang. Sehingga ketika suara nasional 19% itu dikonversikan ke kursi sudah lebih dari 20% kursi DPR, sebagai syarat minimal ajukan capres sendiri.
Menurut survei LSI, perolehan kursi DPR dari PDIP mencapai 116 kursi. Sedangkan syarat minimal ajukan capres sendiri adalah 112 kursi (20%). Sehingga PDIP sudah aman soal syarat suara atau kursi ini, dengan asumsi hasil hitung cepat sekarang tidak berubah signifikan. Apalagi, PDIP sudah resmi berkoalisi dengan Partai NasDem. Makin aman lagi.
Bandingkan dengan Prabowo Gerindra, yang sekarang pencapresannya terancam. Dimana sampai saat ini Gerindra belum punya teman koalisi yang permanen untuk mencukupkan suaranya yang hanya 11-an % itu menjadi 25% suara sah nasional atau 20% kursi DPR. Koalisi dengan PPP layu sebelum berkembang. Jadilah Gerindra kembali sendiri.
Bandingkan pula dengan kubu Demokrat yang paling lelet. Sudahlah suaranya kecil, siapa capresnya juga belum juga ditetapkan, masih sibuk konvensi. Sementara kereta lawan (Jokowi) sudah menderu-deru meninggalkan stasiun menuju pesta pora permainan sensasi massa penentuan cawapres.
Hal yang sama pada kubu Golkar. Siapa teman koalisi Golkar? Belum jelas. Siapa cawapres Aburizal Bakrie? Juga belum jelas. Golkar masih tertatih-tatih mencari teman koalisi dan menentukan siapa cawapres ideal menjual. Sama dengan Prabowo, pencapresan Ical juga terancam.
Makin heboh lagi gara-gara manuver politik Amien Rais dengan Koalisi Indonesia Raya-nya yang juga belum terwujud. Sekalipun belum terwujud, manuver Amien tersebut berhasil merusak formasi serang partai-partai yang belum berkoalisi dan belum memiliki pasangan capres-cawapres definitif. Manuver yang membingungkan partai-partai.
Jangan-jangan, ujung-ujungnya, partai-partai Islam dan berbasis Islam (PPP, PKS, PKB, dan PAN) gigit jari semua karena gagal mengusung pasangan capres-cawapres dari kubunya. Bukan tak mungkin partai-partai Islam (dan Golkar) mendekat ke calon yang paling mungkin menang. Sementara, Prabowo-Gerindra tak dapat kuda tunggangan menuju RI 1.
Jadilah pilpres 2014 terancam hanya ada calon tunggal: Jokowi-Jusuf Kalla.