Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jika Umur 40-an Belum Dapat Jodoh

5 Juli 2012   13:29 Diperbarui: 4 April 2017   17:59 7599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13414930551896026098

[caption id="attachment_186428" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi (la-dilacious.blogspot.com)"][/caption] Ada cukup banyak teman dan famili di sekitarku yang sudah berusia 40-an tahun ke atas tapi belum juga dapat jodoh alias jomblo. Kuhitung ada satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh! Iseng kuperhatikan wajah mereka saat kebetulan ketemu. Kulit wajahnya cenderung redup, kurang bersinar, mungkin hormon kelelakian atau keperempuannya tidak tersalurkan. Sebagian dari mereka wajahnya cukup ganteng (yang lelaki) dan cantik bahkan putih mulus (yang perempuan). Tapi kok belum dapat jodoh? Aku tak kasihan pada mereka. Dan mereka pun barang kali tak mau dikasihani. Temanku dari Jakarta berkunjung ke rumah dan menyatakan pendapat menarik terkait hal ini, "Kalau sudah usia 40-an belum dapat jodoh, serahkan saja pada Allah Swt."  Benar juga, ngapain terlalu dipikirkan. Pamanku di Jakarta bahkan sudah berusia 54 tahun dan masih jomblo hingga tulisan ini diturunkan. Tak lama lagi ia akan pensiun dari jabatan terhormat di sebuah kantor pemerintah. Dulu sekali, entah tahun berapa, sudah lupa, ia pernah dicomblangi dengan seorang perempuan bergelar doktor dari luar negeri yang katanya mengajar di sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta. Perempuan ini tak kurang suatu apapun: cantik, bersih, pintar dan tajir. Namun, di mata paman, ada saja celahnya. Selalu saja ada sisi negatif dari seorang perempuan yang dekat dengan dirinya. Sehingga aku berpikir, bahwa pada kasus paman bukan lagi seret jodoh tapi lebih berat ke masalah kejiwaan paman sendiri. Bisa jadi jodoh sudah ada di samping dirinya namun ditolaknya. Akhirnya sistem makrokosmos marah, Tuhan juga marah. Ya begini jadinya. Orang tipe begini idealnya stop dulu cari jodoh, konseling dulu ke psikolog. Sudah baikan baru cari jodoh lagi. Satu lagi keluarga istri yang tinggal di Padang. Ia seorang wanita karir yang sibuk, enerjik, bersifat positif pada orang, ramah dan memiliki sifat kepemimpinan yang menonjol. Tapi semua keunggulan tersebut tak cukup untuk mendapatkan jodoh. Saat ini ia sudah berusia 41 tahun dan masih jomblo. Setahun lalu pernah dicomblangi pada seorang lelaki yang juga sudah berumur 40-an tahun dan sudah nampak tua. Sudah diduga, keduanya sama sekali tak saling tertarik. Berikutnya tetangga tak begitu jauh dari rumah. Ia seorang notaris, cantik, putih mulus, rambutnya hitam mengkilat dan panjang, ramah, pintar, mandiri, humoris. Pokoknya seolah tanpa celah. Saat ini umurnya sudah 42 tahun dan belum juga dapat jodoh. Ia sibuk berkarir dan ketemu banyak lelaki tiap harinya namun tak ada satu jua yang nyangkut di hati. Agak tak enak hati melihat teman-teman ini saat menghadiri acara resepsi pernikahan. Sudah berkali-kali menghadiri resepsi pernikahan orang lain, kapan diriku? Mungkin itu pikirannya. Selalu sendirian saat mengikuti resepsi pernikahan, sesekali mengajak teman atau seorang adik kecil. Berkali-kali sudah "dilangkahi" adik-adiknya. Jodoh memang misterius. Dicari tak dapat-dapat. Tidak dicari malah dapat dengan sendirinya. Aneh. Yang jelas jodoh tidak sesimpel mencari pekerjaan dengan kualifikasi seperti iklan biro jodoh di Kompas tiap hari Minggu, syaratnya: S1, pekerjaan tetap, tinggi dan berat proporsional, tidak judi, miras, siap menerima lahir batin, dst. Syarat iklan jodoh ini lebih "parah" dari iklan lowongan pekerjaan! Barangkali saja kawan-kawan ini sebaiknya mulai berkompromi dan membuka hati serta pikiran. Ada yang bilang bahwa cinta hakikatnya kata kerja, bukan kata benda. Karena kata kerja, cinta harus diperjuangkan, diwujudkan, dibangun. Walaupun hati tak suka dengan calon yang dicomblangi orang, tapi jika satu sama lain saling menerima, siapa tahu cinta akan tumbuh dengan sendirinya seiring waktu. Siapa tahu. Yang pasti nikah tidak wajib.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun