[caption id="attachment_182268" align="aligncenter" width="240" caption="Ilustrasi simbol gender, sumber: dreamtimes.com"][/caption] Ini alasan faktual satu lagi mengapa saya menolak poligami. Sebagai lelaki normal yang kebetulan menikmati sex dengan baik, dan semasa kuliah dulu diberi gelar tidak resmi oleh kawan-kawan sebagai 'Pakar Sex', saya pernah iseng tanya istri perihal poligini. "Say, kalau papa kawin lagi bagaimana?" Huaaaaa, udah deh. Jawabannya sepet gitu. Soal "pakar sex" di atas, benar. Bukan becanda. Walaupun saya kuliah di fakultas hukum, tapi memiliki minat yang beragam dan satu diantaranya adalah bidang seksologi. Otodidak di bacaan-bacaan tentu saja. Jadilah saya menjadi konselor kere yang memberikan nasehat-nasehat gratisan seputar seksologi pada teman-teman mahasiswa (yang melongo-longo keheranan). Balik ke istri yang sepet tadi. Ternyata walaupun pertanyaannya bernada canda tapi aura energi penolakan dipoligini sangat terasa. Udara seperti dipenuhi partikel-partikel penghantar panas. Dalam canda terasa energi negatif berterbangan di sekitar istri. Kayaknya anti banget dia dipoligini. Walau pun bercanda tapi jawaban istri sangat jujur. Intinya ia menolak dipoligini. "Apa tidak lihat dua anak perempuanmu, Pa?" tanya istriku retoris. Penolakan istri benar-benar berasal dari hati, jauh dari lubuk hatinya. Ia tidak pernah menguraikan alasan-alasan filosofis yang bribet dan alasan normatif (agama dan hukum) yang rumit dibalik penolakannya itu. Ia hanya mengemukakan isi hatinya. Disampaikan melalui media kata-kata, juga tatapannya. Bagiku itu sudah cukup.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H