Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Politik

Inikah Akhirmu, Mas Anas?

6 Juni 2012   06:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:20 1481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Waktu masih menjabat Ketum PB HMI Periode 1997-1999, wajah Anas Urbaningrum sering muncul di media massa dan layar televisi. Saat itulah penulis mulai mengenal Anas, termasuk cerita kelahiran anak pertamanya. Wajah Anas tampan, bersih, kulitnya terang, dan rambutnya hitam tebal bercahaya. Sekalipun ia nyaris tidak memiliki alis mata, begitu kelihatannya, mirip Monalisa. Pembawaannya terlihat sopan, kalimatnya tertata, dan intonasi suaranya terdengar meyakinkan. Ciri khas orang pintar yang telah berpikir matang terlebih dahulu sebelum mengemukakan pikirannya.

Masih di sekitar tahun 1999 akhir. Saat diwawancarai langsung oleh sebuah stasiun televisi, Anas dan Yusril Ihza Mahendra berada dalam satu forum yang sama. Sempat terjadi perdebatan waktu itu. Yusril menyela pembicaraan Anas yang mengutip pernyataan seseorang dari sebuah buku. “Saya sudah baca buku itu!,” kata Yusril memotong dengan tangkas. Air muka Anas agak berubah, ia terdiam dan agak tersurut ke belakang.

Yusril memang tokoh muda yang lain lagi, seorang ahli hukum tata negara, yang sedang bersinar terang pula pada waktu itu. Sebelum pergantian rezim, Yusril bisa disebut “antek” Soeharto karena ia penulis pidato Soeharto. Beberapa jam sebelum Soeharto meletakkan jabatan, Yusril muncul ke muka publik sebagai tokoh yang “menampakkan diri” berseberangan dengan mantan bosnya (Soeharto). Yusril menjadi dekat dengan Amien Rais, Bapak Reformasi.

Suatu malam di penghujung tahun 1999 muncul lagi sosok muda yang cukup membuat penulis kagum. Eep Saefollah Fatah namanya. Waktu itu debat Capres di Salemba yang disiarkan langsung stasiun televisi SCTV kalau tidak salah. Sebagai panelis debat utama, Eep mempertanyakan Amien Rais yang terlambat hadir sesuai jadwal yang telah ditentukan. “Wah, bagaimana mau jadi presiden nih, terlambat hadir…dst,” kata Eep lebih kurang. Sontak pertanyaan Eep disambut tepuk tangan dan gelak tawa para mahasiswa yang hadir di dekat panggung debat pada waktu itu. Eep tampil sangat meyakinkan dan memukau. Saat inilah penulis mulai mengenal Eep, Harkristuti Harkrisnowo (pakar hukum), dan Imam B Prasodjo (sosiolog)—semuanya panelis debat Capres 1999.

Nampaknya tiga orang tokoh muda di ataslah yang akan menguasai panggung rezim berikutnya pasca tumbangnya rezim Soeharto. Selain tokoh utama yang sudah agak tua tentu saja, Amien Rais.

Tak dinyana perolehan suara Partai Amanat Nasional (PAN) tak mengembirakan dan Amien Rais pun gagal terpilih sebagai Presiden. Yang muncul justru Gus Dur. Yusril juga gagal muncul sebagai tokoh utama, ia mundur dalam pencalonan presiden untuk melempangkan jalan terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden, mengalahkan Megawati Sukarnoputri yang kurang disukai karena sentimen ke-perempuan-nya dan diragukan kemampuannya.

Pada titik inilah bandul sejarah Reformasi mengayun tak beraturan. Alih-alih membersihkan kabinetnya dari anasir rezim lama, Gus Dur malah merekrut beberapa tokoh militer yang nota bene justru berada dalam poros utama rezim Orde Baru-nya Soeharto (militer, Golkar dan birokrasi). Tokoh militer yang diangkat Gus Dur sebagai Menteri itu adalah Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Arah sejarah kemudian sudah sama kita tahu.

Itulah “akhir” dari era Reformasi otonom mengontrol bandul sejarah. Pergantian era kekuasaan telah gagal menghantarkan tokoh utamanya (Amien Rais) ke panggung RI 1 dan gagal membersihkan Kabinet dari anasir poros utama Orba. Sehingga transformasi kekuasaan dari era lama (Orba) ke era baru (reformasi) termasuk sistem hukumnya, tidak semulus yang dibayangkan. Agak tersendat dan mengayun tak meyakinkan.

Tidak seperti pergantian rezim Husni Mubarak di Mesir tahun 2011, dimana rezim baru membersihkan semua tokoh lama, dengan mengadili Mubarak dan para menteri serta panglima angkatan loyalis Mubarak. Hal yang relatif sama juga terjadi di Libya tahun 2011. Berbeda halnya dengan peralihan kekuasaan dari Orba ke Orde Reformasi tahun 1998, yang diwarnai deal-deal politik bersifat kompromistis rezim baru dan rezim lama.

Soeharto memang turun panggung tapi ia berhasil meninggalkan paham tak kelihatan yang bertajuk “mikul duwur, mendem jero” untuk menyisahkan sedikit tangan-tangan kekuasannya di pemerintahan baru, teknik untuk mengamankan diri dari turbulensi perubahan mendadak suatu rezim. Soeharto turun panggung, tapi ia masih membawa "microphone" di tangannya untuk meneriakan kepentingan politik.

Dari tiga orang tokoh muda di atas (Anas, Yusril dan Eep), hanya tersisa Yusril yang masuk menerima sedikit saja aras kekuasaan Orde Reformasi dengan jabatan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (26 Agustus 2000-7 Februari 2001) era Gus Dur, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Kabinet Gotong Royong (Agustus 2001-2004) era Megawati Sukarnoputri. Sedangkan Anas tidak kelihatan. Eep juga masih “tenggelam” dengan posisinya sebagai dosen ilmu politik UI, yang kemudian tahun 2000 melanjutkan kuliah ke Ohio State University, Colombos, AS.

Hari-hari berlalu. Gus Dur sepertinya menyadari bahwa ia hanya sebagai “peretas jalan” saja dalam era baru bernama Reformasi. Tidak bisa lebih dari itu. Kekuasaannya juga akan segera berakhir. Gus Dur nampak berpikir siapa-siapa saja yang akan meneruskan menata jalan orde Reformasi selanjutnya, pasca dirinya kelak tidak menduduki lagi jabatan presiden? Ia nampak melihat kemampuan Jusuf Kalla dan Yusril. Maka, didepaknyalah Jusuf Kalla dan Yusril dari kabinet. Jusuf Kalla nampak belum menyadari langkah politik Gus Dur waktu itu, terbukti ia sempat berkata pedas “(Gus Dur) Presiden apaan itu!,” katanya gusar pasca pemecatan dirinya.

Dengan didepak dari kabinet, orang hebat seperti Jusuf Kalla dan Yusril dapat terus melanjutkan peran politik mereka di pemerintahan baru (Megawati) tanpa harus dikait-kaitkan dengan diri Gus Dur. Pemecatan itu sendiri sudah memperlihatkan bahwa Jusuf Kalla dan Yusril ada di pihak kontra atau berlawanan dengan Gus Dur, sehingga Megawati bisa tak ragu memanfaatkan tenaga dan pikiran Jusuf Kalla dan Yusril di kabinetnya.

Sampai di kemelut politik ini, Anas dan Eep sama sekali tidak kelihatan. Karena mereka tidak berada di lingkaran kekuasaan pada waktu itu.

Seiring waktu, Eep terbang ke AS untuk melanjutkan kuliah mengambil doktoral di Ohio State University. Anas belakangan mencalonkan diri sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum dan terpilih. Di sinilah titik balik Anas dibidang politik praktis. “Jaket KPU” seolah kekecilan bagi Anas. Belum selesai masa tugasnya di KPU, Anas mengundurkan diri dan merapat ke partai yang sedang berkuasa (Partai Demokrat), apalagi tujuannya selain mendapatkan kekuasaan (memang apa ada motif lain yang relevan?).

Anas semasa kuliah seorang aktivis HMI. Sebagai organisasi perkumpulan mahasiswa muslim, HMI lebih banyak bergerak di wilayah ide pemikiran. Bukan organisasi mahasiswa yang bersentuhan langsung dengan advokasi kaum miskin dan termarginalkan di pinggiran kali, di tepian pantai yang melarat, atau di desa-desa yang terbelakang. Karena itu, aktivis HMI cenderung sulit menangkap “darah dan nanah” aspirasi kaum miskin dan termarginalkan secara ekonomi dan politik. Sedikit banyak latar belakang ini membentuk diri seorang Anas.

Singkatnya, para aktivis HMI bukanlah para aktivis yang menyeruak di tengah-tengah massa rakyat dalam pengertian rakyat banyak seperti petani, nelayan, dan buruh. Ia menyeruak di tengah-tengah massa mahasiswa, segelintir elit muda intelektual. Karenanya, aktivis HMI yang belakangan terjun ke politik praktis dan tidak menyadari endapan indoktrinasi dan pengkondisian organisasi di alam sadar dan bawah sadarnya, cenderung rawan godaan kekuasaan, termasuk soal materi. Walau hal ini kasuistis sifatnya, tidak bisa digeneralisir.

Fakta membuktikan hipotesis ini. Apa pekerjaan Anas sehingga ia nampak begitu kaya mendadak setelah meraih posisi di poros kekuasaan (Partai Demokrat)? Bisa membangun rumah besar bak istana, dan memiliki sejumlah kendaraan mewah diantaranya Toyota Alfard, serta mampu membiayai pencalonannya sebagai Ketua Umum Demokrat. Ini juga ditanyakan secara provokatif oleh Nazaruddin waktu diwawancarai media, “Memang apa pekerjaan Anas?,” kata Nazaruddin.

Uraian di atas bukan berarti mengabaikan asas praduga tak bersalah.

Gempuran demi gempuran dari kasus Wisma Atlet dan Hambalang akan membuktikan secara hukum apakah Anas bersih atau tidak dari praktik tindak pidana korupsi dan/atau pencucian uang (dalam pencalonannya sebagai Ketum Partai Demokrat). Di titik inilah bisa jadi akhir karir politik satu-satunya tokoh muda Reformasi 1998 yang masih tersisa di panggung kekuasaan (catatan: Andi Arief dan Beny K Harman dll tokoh pergerakan 1998 cukup hebat tapi belum masuk daftar seleval Anas, setidaknya begitu versi penulis). Atau, sebaliknya, jika tak terbukti dari tuduhan pidana, bisa jadi titik pijak Anas untuk lompatan yang lebih dahsyat lagi. Waktu akan membuktikan semuanya.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun