Pernikahan siri kilat Bupati Garut Aceng HM Fikri, yang terindikasi kuat melanggar hukum dan etika, bakalan berbuntut panjang dan serius baik secara hukum maupun politik. Sebagaimana luas diberitakan, HM Fikri menikahi Fany Octora (18) secara siri lalu empat hari kemudian menalaknya tiga sekaligus melalui pesang singkat (SMS).
Secara hukum, mantan istri siri HM Fikri tersebut telah melaporkan dirinya ke Bareskrim Mabes Polri dengan sangkaan penipuan dan kekerasan psikis. Sementara, secara politik, Tim dari Departemen Dalam Negeri sudah turun ke Garut untuk mengumpulkan data dan informasi terkait pernikahan siri HM Fikri.
Turunnya Tim dari Depdagri tersebut sebagai tindak lanjut dari arahan Presiden SBY. Nah, loh, sampai-sampai Presiden langsung yang turun tangan. Diberitakan, Presiden SBY terusik dengan ulah Bupati Garut tersebut (mediaindonesia.com).
Kasus pernikahan siri Bupati Garut ini menjadi perhatian pemerintah pusat karena pernikahan pejabat publik tersebut melanggar hukum dan etika sekaligus. Harusnya, selaku pejabat publik apalagi selevel bupati memberikan contoh ketaatan terhadap hukum dan etika.
Pasal 2 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tegas menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Bagaimana mau tercatat sedangkan pernikahannya saja dilakukan secara siri. Dengan demikian, Bupati Garut Aceng HM Fikri telah melanggar ketentuan UU Perkawinan, mutatis mutandis melanggar sumpah jabatan yang dapat berkonsekuensi pencopotan dari kedudukannya.
Sebelum memangku jabatannya, seorang kepala daerah akan bersumpah berdasarkan Pasal 110 UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai berikut:
“Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah/ wakil kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa.”
Salah satu poin penting dari sumpah tersebut adalah frase ‘dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya…dst’. Sumpah tersebut terlarang keras dilanggar. “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang: menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya”, tegas Pasal 28 huruf f UU No 32 Tahun 2004.
Konsekuensi dari melanggar sumpah jabatan adalah dapat menjadi alasan pemberhentian seorang kepala daerah. “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberhentikan karena: d. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah”,demikian bunyi Pasal 29 ayat (2) huruf d UU Pemda. Kemudian dilanjutkan dalam huruf f pasal yang sama, sebagai alasan pemberhentian kepala daerah atau wakil kepala derah: “f. melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.”
Pelaksanaan pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dengan alasan melanggar sumpah jabatan tersebut dengan mengacu pada Pasal 29 ayat (3) dan (4) UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Memang proses pencopotan tersebut akan memakan waktu, sementara jabatan ybs tinggal lebih kurang satu tahun lagi. Akan tetapi sebaiknya segera dimulai untuk tegaknya supremasi hukum, etika, dan pembelajaran sosial budaya serta politik kepada warga negara khususnya warga Kabupaten Garut.
(SP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H