Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ilusi Ganti Rugi Korupsi

9 April 2012   07:04 Diperbarui: 12 Desember 2017   09:12 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Eksekusi ganti rugi dalam kasus korupsi banyak ditemui tak beres! Acap terjadi disebabkan unsur “memperoleh” dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai dasar hukum ganti rugi pidana uang pengganti, tidak tergambar uraiannya dalam surat dakwaan, sehingga tak terelaborasi pembuktiannya di persidangan, otomatis juga dalam surat tuntutan. 

Lucunya, tetap banyak yang dikabulkan hakim. Nah, pas mau eksekusi, baru kelabakan harta yang mana yang mau dieksekusi. 

Sesuai aturan, harta terpidana yang dieksekusi tersebut haruslah harta yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi. Objeknya harus jelas dan tertentu. 

Dengan kejadian serupa itu jangan heran jika pemberantasan korupsi baru sebatas menghukum orang. Tapi gagal memulihkan kerugian keuangan negara. 

Pemaksaan eksekusi pada objek yang tak jelas dan tertentu mengakibatkan terpidana merasa dihukum dua kali. Manakala hartanya yang bukan berasal dari tindak pidana korupsi dicoba diutak-atik jaksa eksekutor. 

Tindakan eksekutor mana, jika tetap dipaksakan, tak pelak berpotensi sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheids daad), vide Pasal 1365 KUH Perdata. 

Terpidana dapat mengajukan gugatan ke pengadilan dengan dasar hukum Pasal 1365 KUH Perdata tersebut. 

Kegagalan eksekusi tersebut bisa ditelusuri penyebabnya secara berangkai dari mulai penyidikan sampai penuntutan. 

Biasa ditemui dalam surat dakwaan hanya disebutkan cara-cara bagaimana suatu tindak pidana korupsi dilakukan, namun tidak menguraikan “perolehan” harta dari hasil korupsi. 

Persisnya, tidak ada uraian bagaimana cara harta yang diduga hasil korupsi tersebut diperoleh berikut rincian perhitungannya sesuai audit. Sedangkan jelas-jelas dakwaan mencantumkan Pasal 18 ayat (1) huruf b dan ayat (2) UU No 31 Tahun 1999. 

Jadilah kasus korupsi pepesan kosong. Aparatnya berkeringat tapi tak menghasilkan apa-apa, ibarat orang jalan di tempat. Pasalnya, setiap kasus yang ditangani ada biaya untuk mengusutnya. Untuk kasus korupsi, biaya yang dikeluarkan negara bisa puluhan hingga ratusan juta rupiah. Namun, pada garis finis, alih-alih biaya itu kembali, yang terjadi malah tekor. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun