Ada fakta menarik pasca runtuhnya kekuasaan kuat Orde Baru. Jika jaman Orba kekerasan didominasi oleh pelaku negara melalui aparatnya, sebaliknya era pasca Reformasi kekerasan cenderung didominasi oleh masyarakat sipil. Sampai di sini menggelitik untuk dipertanyakan apa yang terjadi sesungguhnya, apakah faktor ekstrinsik dari luar diri manusia dan komunitasnya ataukah faktor intrinsik dari dalam diri manusia dan komunitasnya alias oleh sebab memang hobi kekerasan.
Kajian ini sebenarnya memerlukan seperangkat pisau analisis dari berbagai bidang ilmu (multidisipliner) seperti sosiologi, antropologi, kriminologi, psikologi dan ilmu hukum. Sehingga dapat terbangun satu pemahaman utuh tentang apa yang sebenarnya terjadi, apa penyebabnya, dan kemungkinan jalan keluarnya. Namun, dalam tulisan ini hanya akan menjangkau sisi mana suka penulis saja, bolehlah disebut stereotipe. Yang senang-senang penulis saja. Sekedar santapan ringan otak, selanjutnya biar otak yang mencernanya sendiri.
Manusia secara kecenderungan intrinsik di dalam dirinya sering disebut sebagai Homo Sapiens (mahluk berpikir/bijak), Homo Ludens (mahluk yang suka bermain), Homo Faber (mahluk yang suka bekerja), Homosexual Anarchist [mahluk yang (sebagian) berorientasi seksual kacau dan menyakiti]. Bolehlah ditambahkan satu lagi, yaitu Homo Anarchist bagi mahluk yang hobi sekali membuat kekacauan, menimbulkan huru-hara. Diam-diam terhibur jika mengalami aksi tawuran, menggunakan massa untuk mengadili kemaksiatan dengan kekerasan, atau sekedar menonton aksi kekerasan massa di televisi. Atau, setidaknya menoleransi kekerasan oleh ormas keagamaan demi untuk memberantas kemaksiatan.
Dalam batas tertentu memang ada sebagian mahluk manusia yang tak sabar dengan sistem yang serba lambat dan berorientasi menjaga harmonis dalam satu kesatuan. Sistem hukum, misalnya, jika diikuti dari proses awal sampai akhir akan memakan waktu lama dan berbelit-belit.
Dalam suatu pengungkapan kasus korupsi pertama-tama orang-orang akan dimintai keterangan dan bukti-bukti awal dikumpulkan (penyelidikan). Lalu setelahnya beberapa saksi tadi "naik pangkat" jadi tersangka, perkara dilakukan pemberkasan oleh penyidik, dilimpahkan ke penuntut umum (jaksa), lalu oleh jaksa jika berkas belum dinyatakan lengkap akan dikembalikan ke penyidik (bolak-balik begini bisa memakan waktu berbulan-bulan). Jika berkas dinyatakan lengkap oleh jaksa maka akan dibuatkan surat dakwaan. Oleh jaksa berkas perkara dan tersangkanya dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan. Lantas di pengadilan perkara akan disidangkan.
Dalam persidangan ada pula rangkaian acara yang nauzubillah panjang dan rumitnya: pembacaan surat dakwaan, eksepsi atau keberatan oleh terdakwa/penasehat hukumnya, tanggapan oleh jaksa penuntut umum, putusan sela oleh majelis hakim, pemeriksaan saksi-saksi, pemeriksaan ahli (kalau ada), pemeriksaan terdakwa, pembacaan surat tuntutan oleh terdakwa, pembelaan (pledoi) oleh terdakwa/penasehat hukumnya, jawaban (replik) penuntut umum, jawaban terdakwa/penasehat hukum (duplik), baru terakhir putusan hakim. Dalam kasus korupsi dengan saksi-saksi sekitar 30 orang, semua rangkaian sidang tadi bisa memakan waktu paling cepat enam bulan dan bahkan sering sampai 12 bulan.
Itupun tidak menjamin semua aspirasi keadilan para pihak dalam suatu perkara pidana (penuntut umum dan terdakwa) terpuaskan. Sering bahkan kebanyakan diataranya tidak puas dengan putusan hakim sehingga menempuh upaya hukum banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Yang semuanya memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
Sementara warga sebagai korban dalam suatu tindak pidana menunggu dengan harap-harap cemas. Mudah-mudahan aspirasi keadilannya dikabulkan hakim. Apa dinyana acap terjadi aspirasi keadilan korban bisa saja ditolak hakim. Ini karena hukum bekerja dalam sebuah sistem. Sekalipun seluruh umat manusia sedunia ini menghendaki terdakwa dihukum, akan tetapi jika tidak cukup bukti untuk menghukum si terdakwa, maka tidak ada pilihan bagi hakim kecuali membebaskan si terdakwa. Ini jika sistem hukum diasumsikan bekerja secara normal. Belum lagi andai terjadi semacam "mafia hukum", dimana semua keputusan dalam setiap tahapan proses hukum di atas telah disusupi kepentingan tertentu karena adanya suap. Makin kacaulah pengadilan yang dikatakan sebagai "benteng terakhir keadilan" itu.
Jika demikian adanya, masyarakat yang tak sabaran akan berpikir jalan pintas. Mengapa tidak kita "adili" sendiri saja pelaku. Dalam kasus pembunuhan, pelakunya adalah si pembunuh. Dalam sengketa lahan perkebunan masyarakat-perusahaan, pelaku biasanya adalah perusahaan perkebunan. Dalam kasus maraknya kemaksiatan oleh dunia usaha, pelakunya adalah bar atau bilyar atau rumah pelacuran.
Warga yang tidak berpikiran jernih tidak menyadari bahwa perbuatan "mengadili sendiri" alias "main hakim sendiri" tersebut merupakan tindak pidana pula. Alih-alih menegakan kebenaran, ini malah menimbulkan masalah baru. Pasalnya, aspirasi "kebenaran" (subjektif) harus diperjuangkan dengan cara-cara yang benar pula.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H