Golongan Karya memang tidak cocok lagi dalam sistem politik khususnya sistem pemilu di Indonesia pascareformasi tahun 1998. Alasannya, mana mungkin lagi satu partai politik mengklaim kelompok mereka sebagai "golongan karya", sementara dalam pemilu mereka belum tentu menang menguasai pemerintahan, belum tentu menjadi "golongan karya".Â
Golkar cocoknya hidup dalam sistem politik yang otoriter. Kalaupun ada pemilu sekedar akal-akalan saja, karena pemenangnya sudah dapat dipastikan, yakni mereka. Hanya dengan cara ini mereka dapat terus menjadi apa yang disebut "golongan karya".
Dalam sistem pemilu sekarang tidak bisa lagi seperti itu. Golkar bisa jadi menang dan bisa jadi juga kalah, tergantung kehendak mayoritas pemilih. Kenyataannya, dalam pemilu 2014 lalu, Golkar kalah. Yang menang adalah PDI Perjuangan. Jadilah Golkar menjadi "partai oposisi".
Kan jadi ngaco. "Golongan Karya" kok jadi oposisi, jadi karyanya apaan--sekarang yang jadi golongan karya sebenarnya PDI Perjuangan Cs. Hehehe. Terutama jika "golongan karya" dimaknai seperti masa lalu, yakni golongan yang menguasai top kekuasaan eksekutif, sehingga dapat menguasai hampir semua unsur politik dalam negara.
Atas dasar itu, Golkar sebaiknya membubarkan diri saja. Kebetulan per hari ini (1 Januari 2016), Partai Golkar kehilangan dasar hukum keberadaannya, hal mana karena Kemenkumham mencabut surat pendaftaran terhadap kepengurusan Golkar versi Munas Ancol, selanjutnya mengakui kepengurusan Golkar hasil Munas Pekanbaru tahun 2009, yang nota bene berakhir tanggal 31 Desember 2015 kemaren.
Pembubaran (diri) demikian dimaknai atas dua argumen. Pertama, yang paling mendasar, keberadaan Golkar memang tidak cocok lagi secara eksistensial filosofis. Hal mana seperti diuraikan di atas.
Dalam sistem pemilu demokratis, partai Golkar belum tentu menjadi pemenang sehingga keberadaan mereka cocok disebut "golongan karya". Dalam posisi kalah pemilu, belum tentu juga diajak bergabung oleh partai pemenang. Atau, kalaupun diajak bergabung oleh partai pemenang, belum tentu Golkar mau atau sanggup memenuhi syarat yang ditetapkan partai pemenang.
Kedua, pembubaran Golkar sebagai pertanggung jawaban moril Golkar atas hancur leburnya demokrasi dan hukum semasa 34 tahun mereka berkuasa (1964-1997). Lakukan "pengakuan dosa" lalu tunjukkan tanggung jawab dengan "harakiri" secara politik. Kalaupun mau renkarnasi ya silahkan, tapi dalam wujud baru yang baik dan benar.
Golkar enggak perlu "ge-er". Keberadaan mereka juga enggak penting-penting amat. Ibarat kata pepatah, Golkar itu seperti "mentimun bungkuk", ada atau tidak adanya tidak terlalu berpengaruh pada jalannya roda negara. Negara tetap jalan terus kok dengan atau tanpa Golkar.
Jadi mendingan Golkar membubarkan diri saja deh. Kalaupun masih nafsu juga menjadi "golongan karya" ya ubah filosofis keberadaan dan penampilan sehingga layak pilih di mata warga pemilih. Tapi sebaiknya bukan "golongan karya" lagi nama partainya. Hahaha.(*)
SUTOMO PAGUCI