[caption id="attachment_188567" align="aligncenter" width="620" caption="Terdakwa kasus korupsi wisma altet, M Nazaruddin menuju ruang sidang untuk menjalani sidang vonis di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jumat (20/4/2012). Majelis hakim menjatuhi hukuman penjara empat tahun sepuluh bulan, denda 200 juta, dan subsider empat bulan./Kompasiana (KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO)"][/caption] M. Nazaruddin kembali berulah. Mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat yang sekaligus terpidana 4 tahun 10 bulan penjara dalam kasus dugaan suap proyek Wisma Atlet SEA Games itu menolak hadir sebagai saksi di KPK dengan alasan yang tidak jelas, Selasa (15/5) kemaren. Melalui kuasa hukumnya, Junimart Girsang, Nazaruddin meminta diperiksa di hotel. Junimart beralasan, seharusnya KPK memperlakukan Nazaruddin sama seperti memperlakukan mantan Wakil Direktur Keuangan Permai Group Yulianis. Menurut Junimart, KPK telah memperlakukan Yulianis secara istimewa saat diperiksa KPK sebagai saksi kasus Nazaruddin. Contohnya, Yulianis pernah diperiksa di Hotel Ritz Carlton dan di sebuah apartemen di kawasan Serpong. Penyidik KPK waktu itu beralasan untuk keselamatan Yulianis. Kejadian serupa pernah tercatat saat pemeriksaan Rani Juliani dalam perkara atas nama tersangka Antasari Azhar Cs. Waktu itu, Rani pernah mengakui diperiksa penyidik kepolisian sebanyak enam kali di sebuah apartemen di Ancol, di rumah makan, di cafe dan di hotel. Tak pelak peristiwa tersebut mendapat banyak kritikan dari berbagai pihak. Dalam aturan hukum acara pidana, memang tidak disebutkan secara tegas soal tempat pemeriksaan seorang saksi. Menurut kebiasaan, pemeriksaan saksi resminya dilakukan di kantor. Dalam konteks aturan normatif yang tidak tegas demikianlah penyidik membuat semacam diskresi atau kebijakan berdasarkan pendapat sendiri untuk memeriksa seorang saksi di hotel. Warga seperti halnya Nazaruddin yang nota bene sedang berhadapan dengan hukum tentu sangat sering mendengar asas persamaan di depan hukum (equality before the law). Bahwa jika Yulianis diperiksa di hotel maka dirinya pun harus diperlakukan sama. Bagi publik yang antikorupsi tentu alasan Nazaruddin tersebut akan terasa sangat menjengkelkan. Tak lebih akal-akalan Nazaruddin saja untuk berkelit atau sekedar mencari posisi tawar terhadap KPK. Secara normatif, apa yang diminta oleh Nazaruddin hubungannya dengan asas persamaan di depan hukum memang demikianlah adanya. Namun yang perlu digaris bawahi di sini adalah, aparat penyidik ke depan sebaiknya bertindak hati-hati dengan melakukan semua proses pemeriksaan saksi dan tersangka di kantor resmi. Sebab, persepsi publik dibangun tidak hanya dari aturan normatif dan diskresi hukum, akan tetapi juga dari fakta bagaimana aparatur hukum menjalankan perannya. Jika aparatur hukum bertindak tidak konsisten, maka publik potensial mempersepsi hukum sebagai tidak konsisten juga. Alasan keamanan saksi sebagai pertimbangan penyidik melakukan pemeriksaan di hotel tidak bisa diterima. Bagaimana pun kantor reserse Polri dan KPK tentu lebih aman dibandingkan hotel. Sebab staf reserse dan KPK adalah penegak hukum yang dilengkapi senjata api untuk berjaga-jaga dalam situasi terburuk. Sayangnya KPK tidak mengambil pelajaran dari pro dan kontra pemeriksaan Rani Juliani terdahulu. Sekarang KPK tak ada pilihan lain kecuali melayangkan panggilan kedua pada Nazaruddin karena memang demikianlah prosedurnya. Jika dalam panggilan ketiga tidak juga datang, penyidik KPK berwenang memanggil paksa dengan bantuan alat negara. Andai sekenario pemanggilan paksa tersebut benar terjadi, Nazaruddin dinilai berhasil menempatkan KPK dalam posisi tersudut. KPK telah melanggar asas persamaan di depan hukum. KPK juga akan dinilai arogan terutama oleh kubu Nazaruddin. Kira-kira demikian kontra pencitraan yang barangkali hendak dibangun Nazaruddin. Tapi tak apa. Itulah pertaruhan KPK yang lambat belajar.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H