Padang - Kamis (10/4/2014) sore sekitar pukul 16.00 Wib saya berkendara di Jalan Rasuna Said menuju Jalan Ki Mangunsarkoro, Padang. Di simpang empat lampu merah Jalan Rasuna Said-Ki Mangunsarkoro kendaraan tidak langsung saya belokkan ke kiri, ke Jalan Ki Mangunsarkoro, melainkan saya berhenti menunggu sampai lampu menyala hijau.
Tiba-tiba, polantas meminta saya menepikan kendaraan, gelagatnya mau menilang. Saya buka kaca jendela. "Selamat sore!" sapa polisi itu sambil menghormat. Setelah saya balas sapaannya, polantas itu menanyakan SIM dan surat kendaraan. Saya berikan SIM dan STNK. Polantas itu meminta saya pergi ke pos penjagaan.Â
Di pos penjagaan, polantas lain lagi bertanya klasik: "Bapak tahu kesalahannya?" Saya bengong saja sebentar. Saya jawab, "Baiklah, tolong bantu saya jelaskan, kesalahan apa yang saya lakukan."Â
Dengan lancar polantas itu menerangkan "kesalahan" saya. Katanya, di lajur kiri persimpangan lampu merah pengendara wajib langsung belok kiri, tidak boleh berhenti seperti saya lakukan. "Itulah kesalahan Bapak," katanya dengan nada meyakinkan.Â
Kuperhatikan sekilas wajahnya (hmm, tak kenal), gerak bibir, dan nama di dadanya (tapi tak kelihatan karena ditutupi rompi polantas).Â
"Bapak pernah sidang di pengadilan?" Ini pertanyaan klasik yang umum ditanyakan kepada para pelanggar aturan lalu lintas, lebih berkonotasi "intimidasi", tekanan psikologis untuk menyelesaikan pelanggaran secara "damai".Â
"Oh, kebetulan itu pekerjaan saya," jawab saya santai.Â
"Memang apa pekerjaan Bapak?"Â
"Pengacara," jawab saya singkat.Â
Polantas itu lantas ubah posisi duduknya. Air mukanya berubah sedikit. Terasa aura energi baru keluar dari tubuh polantas itu, lebih tepatnya aura ego mulai muncul.Â
"Nah, Bapak kan pengacara, mestinya tahu aturan...bla bla bla," katanya berceramah.Â